Tuesday, March 3, 2015

Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah dan Implikasinya Bagi Pengembangan Ilmu Pekerjaan Sosial

Oleh: Abdul Najib, S.Sos. I
 (Pengurus GEMA NW Yogyakarta sekaligus mahasiswa Pasca Sarjana UIN Yogyakarta) 
A.    Pendahuluan
berbicara integratif-interkonektif sudah tidak asing lagi di telinga kita dan cukup populer terutama bagi kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bahkan di Indonesia pada umumnya. Umumnya jargon ini tidak hanya sekedar jargon pasca peralihan IAIN menjadi UIN tetapi lebih dari itu menjadi core values dan paradigma yang akan dikembangkan UIN Sunan Kalijaga yang mengisyaratkan tidak ada lagi pembagian atau dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Gagasan integratif-interkonektif ini muncul dari Amin Abdullah mantan rektor UIN Sunan Kalijaga yang kemudian mengaplikasikannya dalam pengembangan IAIN menjadi UIN. Tentu saja transformasi IAIN menjadi UIN ini hakikatnya adalah transformasi dalam dimensi akademik-keilmuannya, dan bukan sekedar perubahan fisik bangunan atau manajerial pengelolaannya.[1]
Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini muncul dari sebuah “kegelisahan” pak Amin terkait dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Teknologi yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi sekat-sekat antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM dan lain sebagainya. Perkembangan zaman mau tidak mau menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa tekecuali pendidikan keislaman, karena tanda adanya respon yang cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum muslimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah ketatnya persaingan global. Menghadapi tantangan era globlalilasi ini, umat Islam tidak hanya sekedar butuh untuk survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan perubahan. Hal ini kemudian dibutuhkan reorientasi pemikiran dalam pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem kelembagaan.
Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara “ilmu” dan “agama” dimana keduanya seolah menjadi entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan, mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya. Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi “bertegus sapa” satu sama lain.[2]
Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk mendalami dan memaparkan lebih jauh bagaimana paradigma integratif-interkonektif ini dibangun dan bagaimana implikasinya bagi pengembangan ilmupekerjaan sosial.dalam hal ini penulis menggunakan beberapa sumber primer langsung dari beberapa buku yang dikarang oleh Prof. M. Amin Abdullah.
B. Mengenal Biografi Sosok M. Amin Abdullah
M. Amin Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Pada 1972, dia menamatkan pendidikan menegah di Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo, yang kemudian dilanjutkan dengan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidika Darusslam (IPD) 1977 di pesantren yang sama.[3] M. Amin Abdullah dalah Guru Besar Filsafat Islam Pada Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dikukuhkan pada tanggal 13 Mei 2000, menyelesaikan S1 Jurusan Perbandingan Agama di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1981, menyekesaikan studi S3  (Program Ph.D) pada METTU (Middle East Technical University), Departemen of Philosopy, Fakulty of Art and Sciences, Ankara Turki tahun 1990,[4] dengan disertasinya, “The Idea of Universality of Ethical Normas in Ghazali and Kant”, diterbitkan di Turki  (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992).[5]  Mengikuti program Post Doktoral di McGill University, Montreal Canada selama enam bulan (Oktober 1997s/d Februari 1998). Dan Sejak tahun 2001 hingga tahun 2010 menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.[6] Sebuah karir tertinggi dalam bidang akademis, setelah sebelumnya pernah menjabat sebagai pembantu rektor I yang membawahi bidang akademik serta asisten direktur program pasca sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Amin dikenal sebagai salah satu pakar dalam Islamic studies, banyak karya-karyanya yang telah dibukukan menjadi rujukan bagi para akademisi. Disertasinya, The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain: Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995); Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Dinamika Islam Kultural : Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000); Antara al-Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002) serta Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985); Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).
Selain karya-karyanya yang telah dibukukan, tulisan-tulisannya juga dapat dijumpai di berbagai jurnal keilmuan, antara lain Ulumul Qur’an (Jakarta), Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa jurnal keilmuan keislaman yang lain. Di samping itu, dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Seminar internasional yang diikuti, antara lain: “Kependudukan dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992; tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya Program Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994; “Islam and 21st Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996; “Qur’anic Exegesis in the Eve of 21st Century”, Universitas Leiden, Juni 1998, ”Islam and Civil Society : Messages from Southeast Asia“, Tokyo Jepang, 1999; “al-Ta’rikh al- Islamy wa azamah al-huwaiyah”, Tripoli, Libia, 2000; “International anti-corruption conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Persiapan Seminar “New Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues in Islam”, Kualalumpur, Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination of Islamic Religious Authority in Contemporarry Indonesia, Leiden, Belanda, 2003.
Dalam organisasi masyarakat dia menjadi Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta, 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua (2000-2005).
C.    Isi Pemikiran Filsafat Tokoh

1.      Pemikiran M Amin Abdullah: dari Normativitas-Historisitas menuju Integratif-Interkonektif
Jika dilihat dari karyanya yang ada, setidaknya ada dua pemikiran besar Amin Abdullah yang pada dasarnya keduanya merupakan respon dari konteks dan persoalan yang sedang dihadapi oleh kaum muslimin. Pertama adalah persoalan pemahaman terhadap keislaman yang selama ini dipahami sebagai dogma yang baku, hal ini karena pada umumnya normativitas ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis. Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualis dan skripturalis.
Sedangkan disisi lain untuk melihat historisitas keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaan digunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap reduksionis, sementara pendapat Ben Agger tentang historisitas mengacu kepada hubungan historis pola-pola sosial. Historisitas masyarakt mengandaikan pala-pala masa laud an masa kini.[7]
 Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis pendekatan ini merupakan pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat histories-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik. Kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis.[8]
M. Amin Abdullah juga menuturkan di dalam kata pengantarnya dalam buku “Pendekatan Terhadap Studi Islam dalam Studi Agama”, bahwa paradigma integrasi-interkoneksi ilmu pada hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan, termasuk antar pendekatan yang dipakai dalam kajian, sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan focus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda.[9]
Di sinilah, Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungkungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif, dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum baku” tersebut.
Dalam buku Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Biografi Intelektual M. Amin Abdullah menurutnya, awalnya hubungan antara dimensi normativitas dan historisitas seperti manusia itu sendiri. Keberadaan manusia itu terdiri dari dua sisi “normativitas” dan sisi “historisitas”. Ini bisa diibaratkan dengan sebuah koin (mata uang) dengan dua permukaan, hubungan antara kedua koin tidak bisa dipisahkan tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Jadi kalimat tidak dapat dipisahkan inilah yang disebut “integrasi” dan kalimat dapat dibedakan inilah yang disebut dengan interkoneksi.[10]
Sedangkan yang kedua adalah paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respon atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu  akan menjadikan narrowmindedness.
Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan ini masih tetap ada. Lebih lanjut tentang paradigma interkonektif dan integratif ini akan penulis paparkan di bawah ini.
2.      Memahami Paradigma Integrasi-Interkoneksi M. Amin Abdullah
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu  akan menjadikan narrowmindedness.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, yang begitu pesat secara relatif memperdekat jarak perbedaan budaya antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Hal demikian, pada gilirannya juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia tentang apa yang disebut “agama”. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata.
Pada penghujung abad ke 19, lebih-lebih pada pertengahan abad ke 20, terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang “agama” dari yang dahulu terbatas pada “Idealitas” ke arah “historisitas”, dari “doktrin” ke arah entitas “sosiologis dari diskursus “esensi” ke arah “eksistensi”.[11]
Perkembangan studi ilmu-ilmu sosial, terlebih-lebih lagi ilmu-ilmu agama (religionwissenschaft) sebenarnya belum lama. Pendekatan empiris terhadap fenomena keberagamaan manusia baru muncul sekitar abad ke-19. Terlepas dari kontroversi keinginan beberapa peneliti untuk menggunakan metodologi ilmu-ilmu kealaman untuk meneliti fenomena sosial, namun studi dan pengamatan empiris terhadap fenomena sosial keagamaan adalah merupakan suatu perkembangan yang sama sekali baru.
Ilmu-ilmu Islam yang ‘ortodoks’ (fiqh, tasawuf, teologi) secara relatif tidak atau kurang mengenal diskursus baru ini. Hampir semua pemikiran Islam kontemporer mengakui hal ini. Hasan Hanafi, sebagai contoh, melihat dengan nyata menghilangnya nuansa pemikiran ‘historis’ dalam wacana keilmuan Islam. Sejak al-Kindi, al-Farabi, sampai sekarang. Filsafat Islam hanya menyinggung masalah mantiq, Tabi’iyyat dan Ilahiyyat. Ilmu-ilmu kemanusiaan (insaniah) dan sejarah (tarikh) tidak atau belum pernah menjadi sudut bidik telaah keilmuan Islam yang serius. Orang boleh mencatat sebagai pengecualian yang amat sangat jarang seperti Ibnu Khaldun.[12]
Suatu hal yang paling nampak dalam perkembangan epistemologi seperti yang dirasakan oleh mayarakat Barat modern adalah penemuan atau penerapan sains dan teknologi—yang dengan keberhasilannya sangat berbeda jauh dengan kegiatan (kreativitas) para filosof sebelumnya, sehingga pada masa ini dijuluki dengan zaman pencerahan. Namun pada masa ini juga masyarakat modern semakin menyadari bahwa penerapan sains dan teknologi berdampak negatif, karena dengan asumsi bahwa “ilmu adalah bebas nilai” itu ternyata membawa pada dehumanisasi—yang menjaukan diri dari nilai-nilai keagamaan. Berawal dari kesadaran inilah masyarakat modern untuk menggali kembali hubungan harmonis antara sains dan agama.         
Jika diruntut kebelakang, epistemologi model pemikiran Plato (al-Farabi) dan model pemikiran Aristotle (Ibnu Rush) memang dapat dibedakan secara tegas. Pemikiran metafisik-spekulatif model pemikiran Christian Wolff dan pemikiran empiris model Hume dan Berkeley juga dapat dibedakan secara mendasar. Jika di Barat, dalam poses perjalanan sejarah menemukan tokoh Immanuel Kant, yang dapat mengawinkan antara tradisi idealis dengan tradisi empiris, di dalam Islam agaknya belum ditemukan tokoh serupa.[13] Mungkin saatnya sekaranglah untuk mencoba mereduksi hal tersebut.
Bukan masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya,[14] dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial secara sistematik. Hal ini bukan berarti bahwa peran nuansa-nuansa teologis dalam memberikan warna terhadap bentuk-bentuk aktivisme keislaman diabaikan sama sekali. Nuansa-nuansa teologis itu tentu saja harus dipahami secara memadai dengan memakai pendekatan-pendekatan klasik yang berakar didalam kajian-kajian Islam konvensional.[15]
Muhammad Abid al-Jabiry dalam Amin Abdullah mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan sejarah umat Islam, ketika bangunan keilmuan natural sciences (al-ulum al-kauniyyah) menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan ilmu-ilmu keislaman yang pondasi dasarnya adalah “teks” atau nash. Meskipun peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biruni (w. 1041) seorang ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam (w.1039) seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang ada sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi, lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang ada sekarang.[16]
Paradigma Integrasi-interkoneksi hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta, hanya saja dimensi dan focus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa superior, eksklusifitas, pemilihan secara dikotomis terhadap bidang-bidang keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun secara ilmiah-akademis.[17]
Integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri, maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[18]
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
a)      Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
b)      Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
c)      Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.[19]
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.[20]
Amin Abdullah memberikan contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah, yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudharabah) dan kerja sama (al-Musyarakah). Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya.[21]
D.     Analisis Epistemologis atas Bangunan Filosofis Tokoh
Setidaknya terdapat lima elemen-elemen yang harus dijelaskan dalam epistemologi  yaitu: hakikat/sumber pengetahuan, instrumen pengetahuan, metode perolehan pengetahuan, pengujian kebenaran pengetahuan (validitas pengetahuan), dan teori kebenaran. Brikut analisis atas kajiantokoh yang ditawarkan M. Amin Abdullah:
1.       Hakikat/Sumber Pengetahuan
Konsep pendidikan agama yang rahmatan li al-’a>lami>n merupakan wahyu Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan hidup manusia dengan memberikan konsep aturan kehidupan yang berupa aturan dan nilai-nilai ajaran agama meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Kitab suci terbesar yang diturunkan oleh Allah SWT yakni al-Qur’an merupakan puncak dari segala desain ilmu yang di dalamnya tertuang segala aspek keilmuan sebagai petunjuk arah umat manusia dalam pengemban potensi yang dimiliki.
Sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan dalam segala aspeknya memang berasal dari agama. Agama tidak pernah mengajarkan bahwa wahyu Tuhan hanya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris. Agama memberikan aturan bagaimana sebuah kebenaran ilmu dapat diukur, bagaimana ilmu diproduksi, dan bagaimana seharusnya tujuan-tujuan ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontologi dan epistemologi keilmuan, agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif. Dalam artian, bahwa ilmu yang dihasilkan tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai nilai normativitas semata, tetapi sebagai gejala keilmuan objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas. Maka objektifikasi ilmu merupakan hasil dari pemikiran dari orang-orang beriman untuk seluruh manusia yang bersifat menyejukkan dan damai bukan sebaliknya. Jadi, hakikatnya pengetahuan itu haruslah objektif, artinya harus dapat dirasakan dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana yang telah digariskan dalam ide dasar ajaran Islam, yakni Islam sebagai rahmatan li al-’a>lami>n.
2.      Instrumen Pengetahuan
Dalam pandangan filsafat ilmu, segala macam aspek-aspek ilmu pengetahuan yang ada meliputi ilmu-ilmu sosial, ilmu alam maupun ilmu-ilmu keagamaan, dalam perkembangannya selalu mengalami dialektika keilmuan yang mengakibatkan adanya shifting paradigm (pergeseran gugusan pemikiran keilmuan). Hal ini erat kaitannya dengan kegiatan ilmu pengetahuan yang bersifat historis, dengan rancang bangun dari pemikiran manusia yang juga tidak dapat melepaskan dirinya dari sifat historis, maksudnya terikat oleh ruang dan waktu, terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan perkembangan kehidupan sosial yang mengitari penggal waktu tertentu. Dengan begitu sangat dimungkinkan terjadinya dialog yang kemudian menampilkan sistem perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, munculnya teori-teori baru, serta penyempurnaan rancang bangun epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan tidak akan berjalan dan mengakibatkan usangnya pengetahuan keilmuan itu sendiri.
Oleh karena itu, dengan menggunakan bahasa dan pola berpikir yang disesuaikan dengan muatan pengalaman manusia moderen era ilmu dan teknologi tanpa meninggalkan warisan khazanah intelektual Islam, dapat dijadikan sebagai pijakan pengetahuan manusia dalam mengikuti perkembangan paradigma kehidupan. Menurut hemat penulis, antara bahasa, pola berpikir dan diikuti dengan pengalaman dalam mengarungi hidup memang akan menentukan bagaimana arah perkembangan manusia. Sehingga hal tersebut tidak dapat dipisahkan dalam proses kehidupan manusia, karena sejak awal manusia terlahir telah mendapatkan bekal untuk berbahasa dan berpikir dalam rangka pengembangan potensi untuk hidup berkemajuan.
3.      Metode Memperoleh Pengetahuan
Dalam dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga macam teori pengetahuan, pertama, pengetahuan rasional (Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusdh); kedua, pengetahuan inderawi yang terbatas kepada klasifikasi sumber perolehan ilmu pengetahuan, belum ada filosof muslim yang mengembangkan teori ini seperti empirisisme di Barat, dan ketiga, adalah pengetahuan kasyf yang diperoleh lewat ilham. Metode perolehan ilmu lewat jalan pertama dan ketiga saat ini dirasakan masih yang dominan dalam dunia pemikiran Muslim. Sedang perolehan ilmu lewat cara yang kedua kurang mendapat perhatian yang layak, meskipun al-Qur’an sendiri memberikan ruang perolehan ilmu lewat indera sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. dalam perjalanannya mencari Tuhan.
Dengan memahami realitas bahwa perkembangan dunia Islam dalam sarana perolehan ilmu lebih pada pengetahuan rasional dan kasyf maka menurut Amin Abdullah sisi empiris perlu diletakkan secara proporsional positif dalam epistemologi Islam. Walaupun proses tersebut dirasakan memerlukan energi yang cukup besar karena telah berkembang sedemikian rupa di kalangan umat Islam. Dengan mengedepankan mentalitas semangat kritis empiris dan mempunyai semangat keingintahuan intelektual yang mendalam (curiosity) serta berupaya untuk merealisasikannya maka akan melahirkan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas, sehingga diharapkan epistemologi islami akan lahir dan memberi produktivitas keilmuan yang memberi jalan positif atas kegelisahan umat dewasa ini yang di nilai semakin memudar etosnya.
4.      Pengujian Kebenaran Pengetahuan (Validitas Pengetahuan)
Untuk menguji kesahihan sebuah pengetahuan, haruslah kemudian diuji kebenarannya agar dapat dijadikan sandaran dalam kehidupan. Adapun tolok ukur validitas pengetahuan menurut Amin Abdullah ada tiga, yaitu konsistensi, koherensi dan korespondensi. Konsistensi berasal dari bahasa latinconsitere yang berarti “berdiri bersama”. Jadi konsistensi artinya sesuai, harmoni, atau menurut pengistilahan teknik filsafat “hubungan logis”. Sebuah pengetahuan haruslah menghargai pengetahuan lain dengan memiliki hubungan terpadu antar pengetahuan. sementara itu, koherensi berasal dari bahasa latin cohaerere yang berarti lekat satu dengan lainnya. Koherensi merupakan teori kebenaran yang yang menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau informasi) dianggap benar apabila memiliki hibungan ddengan gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahaih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.[22] Koherensi yang dimaksud disini adalah satu poin ilmu harus terkait dengan poin ilmu yang lain, tidak terlepas sendiri-sendiri. Yang terakhir, korespondensi berasal dari dua kata latin, yaitu co yang berarti bersama, dan respondere yang berarti menjawab. Jadi korespondensi adalah praktis dari pengetahuan itu, yakni sama antara teori dengan praktik, antara konsep murni dan terapan. Jadi korespondensi merupakan teori kebenaran yang mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apabila propordi bersesuaian dengan realitas menjadi objek pengetahuan itu. Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi.[23]
Dari ketiga kriteria yang menjadi tolok ukur filsafat ilmu tersebut, dapat dilihat apakah pengetahuan-pengetahuan dalam kurun sejarah tertentu mempunyai konsistensi, koherensi, dan korespondensi atau tidak.
5.      Teori Kebenaran
Sebelum sampai pada pengambilan sebuah teori kebenaran pengetahuan, Amin Abdullah sepintas melakukan telaah pergumulan ide-ide yang disampaikan oleh tiga tokoh filsafat, yakni Thomas S. Kuhn, Karl R. Popper dan Paul Feyerabend,[24] khususnya yang berkaitan dengan gagasan-gagasan mereka yang mengemuka dalam diskusi-diskusi tentang percaturan teori-teori ilmu, dan tumbuhnya teori-teori baru yang menantang teori-teori terdahulu dalam wacana ilmu pengetahuan. Ada dua aliran atau tradisi besar dalam filsafat ilmu yang menjadi istilah atau terminologi analitik dari para filosof, yakni tradisi yang bersifat naturalistik, dan tradisi humanistik.
Ketiga pakar filsafat ilmu tersebut secara kritis analitis sepakat bahwa kekuatan inti yang dinamis, yang mendorong adanya kemajuan ilmu pengetahuan merupakan semangat dan etos dari para ilmuwan dan peneliti sendiri untuk memperbaiki, menyaring, menguji ulang, dan membatalkan teori-teori terdahulu dalam bidang studi yang terkait, dengan menggunakan metodologi-metodologi tertentu yang semakin objektif. Sehingga Amin Abdullah mengemukakan bahwa keseluruhan hasil pemikiran dan analisis keilmuan manusia dalam wacana ilmu pengetahuan harus selalu bersifat terbuka untuk dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga dapat dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang oleh siapapun yang menekuni basis keilmuan tersebut. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dapat menemui titik tujuan yang cemerlang jika ada usaha-usaha sebagai rintisan awal, dan di pihak lain ada gairah dari para ilmuwan dan peneliti untuk membuang dan menghindari kesulitan-kesulitan, anomali-anomali maupun inkonsistensi yang terdapat pada teori-teori terdahulu yang telah dihasilkan oleh generasi sebelumnya, melalui kegiatan ilmiah yang terencana dan disengaja untuk membuktikan kebenaran maupun kesalahan teori-teori terdahulu. Akan tetapi yang tidak dapat dipisahkan yakni adanya interaksi dan komunikasi antara satu disiplin ilmu dengan ilmu-ilmu yang lain yang berada di luar domain tradisional yang menjadi pijakannya. Jadi, ilmu pengetahuan bersifat terbuka untuk dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang untuk mendapatkan konsep pengetahuan yang lebih benar dan tepat dalam perkembangan zaman dan perkembangan pemikiran manusia.
E.     Implikasi Bagi Ilmu Pekerjaan Sosial

M. Amin Abdullah sebagai salah satu tokoh dalam ilmu filsafat yang menawarkan sebuah paradigma keilmuan untuk lebih mendialogkan antara keduanya dengan tidak melupakan klasifikasi ilmu pengetahuan, status dan ontologinya, sebab merupakan basis bagi sebuah epistemologi. Keilmuan yang ditawarkan ialah paradigma interkomunikasi antar ilmu pengetahuan yang di kenal dengan keilmuan interkonektif-integratif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada, baik itu keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan mampu kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan mengakibatkan pemikiran sikap yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan egoisme disiplin keilmuan.
Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia.
Dari paparan diatas menurut hemat penulis seperti kita ketahui bahwa pekerjaan sosial merupakan suatu bidang keilmuan meminjam berbagai teori dari ilmu-ilmu lain, seprti: psikologi ia meminjam beberapa teori tingkah laku, systems social, psikososial teori, dan beberapa dari teori client centre, sementara ilmu ekonomi, yang lebih cendrung digunakan dalam aspek model-model pemberdayaan dalam hal peningkatan taraf hidup, sosiologi bagaimana tatanan masyarakat dan hubungan antara klien dan lingkungannya, ilmu politik ini bagaimana tinjauan dari aspek pengmabilan kebijakan sosial dan dan pembangunan sosial, dan berbagai ilmu sosial lainnya. Dari ungkapan diatas sudah cukup jelas dengan melihat sejarah terbentuknya dan perkembangan ilmu pekerjaan sosial dari abad ke-19 dan 20.  
Dari uraian di atas, pemikiran M Amin Abdullah telah membuka wawasan baru terkait dengan eksistensi ilmu pekerjaan sosial terutama terkait dengan paradigma interkoneksitas. Apabila kita merujuk kepada nilai-nilai dan tantangan globalisasi dan internasionalisasi masalah pekerjaan sosial sehingga mampu melahirkan beberapa konsep pribumisasi/indigienisasi pekerjaan sosial yang sesuai dengan konteks nilai dan budaya yang dianut oleh masyarakat.
Ini dapat terlihat menurut pemikiran yang diutarakan oleh M Amin Abdullah bahwa, secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Pemikiran M Amin Abdullah tentang interkonektif-integratif setidaknya telah mendorong penedekatan dalam pengembangan teori praktek pekerjaan sosial salah satu posisi yang ditawarkan adalah, posisi indeginisasi atau pengkontekstualisasi. Sedangkan posisi lain seperti otentisasi, dan posisi internasional yang multibudaya. Sumbangan ketiga posisi ini dalam mengembangkan praktik pekerjaan social pribumi.[25]
Berbicara interkonektif-integratif telah membuka jalan seluas-luasnya untuk mengkontekstualisasikan ilmu-ilmu sosial terutama pekerjaan sosial di dalam proses intervensinya. Didalam ilmu politik pun terjadi dengan hal yang serupa ketika Gabriel Almond kesulitan membuat skema metode perbandingan sistem-sistem politik, lantas dia meminjam konsep-konsep sosiologi antropologi. Dengan jalan ini ia kemudian mampu menyempurnakan skemanya.[26] Demikian juga yang terjadi dengan ilmu pekerjaan sosial ketika mencari aspek aksiologis keilmuannya ditanya oleh khalayk umum.
Sebagai contoh pendekatan mengintegrasikan pemberian bantuan pribumi ke dalam pekerjaan sosial ini berbeda dari apa yang dipromosikan Barat dalam kaitan dengan pemberian bantuan nonprofessional. Di Barat para pekerja sosial di dorong untuk mengakui nilai kalangan nonprofessional dan para pemberi bantuan awam serta didorong untuk menemukan cara-cara melengkapi dan bekerja dengan mereka. Namun demikian pendekatan ini lebih berkaitan dengan bagaimana kalangan profesional dapat belajar dari pemberian bantuan alamiah atau pribumi.
Pendekatan-pendekatan di atas menarik pengertian tentang pentingnya memahami suatu definisi budaya dari masalah-masalah dan selanjutnya isi pemberian bantuan serta pentingnya mengidentifikasi proses-proses pemberian bantuan yang dapat diterima secara budaya atau bersifat pribumi. Pekerjaan social dapat dibangun berdasarkan dan belajar dari beberapa cara tradisional dalam memberikan bantuan dengan menguji tema-tema budaya dan proses pemberian bantuan dalam pendekatan para pemberi bantuan pribumi.[27]
Dari contoh di atas, menunjukkan konsep keilmuan interkonektif-integratif menjadi upaya tindak lanjut yang lebih luas dari kontekstualisasi ilmu pengetahuan dan saintifikasi Islam. Interkonektif-integratif menampilkan paradigma keleluasaan dalam membuka tabir-tabir antar disiplin keilmuan dan memberikan ruang komunikasi lebih mendalam antara ilmu-ilmu yang dianut dari Barat dengan penerapan yang dilakukan dalam hal ini Indonesia dengan dilandasi kesadaran rendah hati dan rasa kemanusiaan dalam pengembangan bangunan-bangunan disiplin keilmuan.

F.     Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut:
1.      Dalam realitas kehidupan masih ada pemahaman yang belum sinkron tentang hubungan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum karena dipahami ilmu agama menempati ruang yang berbeda dengan ilmu-ilmu umum. Pemahaman tersebut mengakibatkan adanya sikap yang mengarah pada pengambilan sekat atau jarak untuk memberikan ruang yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan, sehingga dilihat dari sudut pandang ini antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan sangat sulit disatukan dengan metode dan cara tertentu. Amin Abdullah berusaha untuk meluruskan dan membenahi alur berfikir dikotomis atomistik melalui ide pendekatan interkonektif-integratif. Paradigma interkonektif-integratif dapat dipahami sebagai upaya membangun kerjasama yang efektif dan mendalam sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga terjadi komunikasi efektif dari bangunan-bangunan keilmuan, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman.
2.      Implikasi pemikiran M Amin Abdullah dengan ilmu-ilmu sosial dan pekerjaaan sosial dengan asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu  akan menjadi sempit. Karena kita ketahui bahwa pekerjaan social meminjam berbagai teori dari ilmu-ilmu lain, seprti: psikologi, ekonomi, sosiologi, psikososial teori, systems social, dan berbagai ilmu sosial lainnya.
3.      Sementara sumber pengetahuan ada dua, yaitu pengetahuan yang berasal dari tuhan dan berasal dari manusia. Obyektif merupakan hakikat ilmu pengetahuan. Bahasa, pola berpikir diikuti pengalaman manusia merupakan alat pengetahuan manusia. Adapun teori pengetahuan yakni pengetahuan bersifat terbuka untuk dapat dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang. Sedangkan menggunakan konsistensi, koherensi, dan korespondensi suatu kebenaran dapat diuji validitasnya.



[1] M. Amin Abdullah dkk, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20076), hlm. v.
[2] M. Amin  Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke III, 2013), hlm 431.
[3] M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multi Religius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), hlm. 191.
[4] M. Amin Abdullah, dkk., Seri Kumpulan Pidato Guru Besar: Rekonstruksi Metodologi Ilmu –ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), hlm. 363.
[5] M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural…,hlm. 191-192.
[6] M. Amin Abdullah, dkk., Seri Kumpulan Pidato,hlm. 363.
[7] Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. terj. Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2013), hlm. 12.
[8] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, cet-3), hlm v-18.
[9] M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar” dalam, Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaydawi (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. Edisi revisi, 2010, Suka-Press). hlm. ix.
[10] Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Biografi Intelektual M. Amin Abdullah (Yogyakarta: SUKA-Press, 2013), hlm. 967.
[11] M. Amin Abdullah, Studi Agama...., hlm. 9.
[12] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam...., hlm. 22.
[13] Ibid., hlm. 23.
[14] M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 33.
[15] Radjasa Mu’tasim dan Arifah Khusnuryani, Keilmuan Integrasi Interkoneksi Bidang Agama dan Ilmu-ilmu Sosial, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Suka, 2009), hlm. 175.
[16] M. Amin Abdullah, dkk…,hlm. 27.
[17] Ibid., hlm. viii.
[18] M. Amin Abdullah dkk, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. vii-viii.
[19] Ibid., hlm. 219-223.
[20] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 62.
[21] M. Amin Abdullah, Islamic..........., hlm. 105.
[22] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 121.
[23] Ibid., hlm. 122.
[24] Menurut hemat penulis bahwa M. Amin Abdullah dan pokok-poko pemikirannya dipengaruhi oleh ketiga tokoh di atas dan ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh filsafat kontemporer dalam pengkajian filsafat ilmu. Dan M. Amin Abdullah mencoba memadukan corak keilmuan umum dengan ilmu keislaman dengan memadukan berbagai asumsi yang telah ada sebelumnya, Thomas Kuhn, dkk.
[25] Ling How Kee, Pribumisasi Pekerjaan Sosial (Yogyakarta: Samudra Biru, 2014), hlm. 11.
[26] Imam B. Jauhari, Teori Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 205.
[27] Ibid., hlm. 23.

1 comments: