Friday, November 21, 2014

Pemberdayaan (Oleh) Masyarakat (Suatu Pengantar)

Telah banyak orang yang menulis tentang pemberdayaan dengan konsep selangit dan retorika yang tak terbatas, namun kita masih kekurangan aplikasi dari semua itu, kita membutuhkan kerja kongkrit untuk turun lapangan, bukan hanya bermain kata-kata. Pemberdayaan yang diartikan sebagai menguatkan atau menjadi masyarakat berdaya dalam hidupnya, memang kini merupakan sesuatu yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Saya pribadi sudah mengamati beberapa lembaga pengabdian, dan diantaranya saya juga ikut terjun di dalamnya. Ada beberapa persoalan mendasar yang kita hadapai ketika terjun di lapangan, yang paling terlihat jelas itu adalah pembedayaan yang menjadikan masyarakat hanya sebagai objek, mereka menggunakan istilah “Pemberdayaan Masyarakat” yang sering kali disingkat PM.

Ketika masyarakat dijadikan sebagai objek, pemberdayaan hanyalah sebuah formalitas tanpa hasil yang jelas. Iya demikianlah kesimpulan saya setelah mengikuti beberapa program pengabdian masyarakat. Jika kita memposisikan masyarakat hanya sebagai objek, maka relawan (atau pengabdi) hanya akan memberikan bantuan konsep maupun tenaga dengan skala waktu tertentu. Jika ukuran waktu itu telah habis, maka proses di masyarakat juga selesai, dengan demikian aktivitas tersebut, hanya dikatan program pengabdian kepada masyarakat, bukan pemberdayaan.

Demikianlah kenapa kemudian saya mengajukan sebuah pandangan, bahwa istilah pemberdayaan masyarakat harus ditambah kata “oleh” diantara kedua kata tersebut, jadi redaksi yang kita gunakan adalah “pemberdayaan oleh masyarakat”. hal ini agar masyarakat tidak terkesan menjadi objek, tapi juga sebagai subjek aktivitas pemberdayaan.

Jika kita menelususri kata pemberdayaan, kata tersebut berasal dari kata berdaya yang memiliki imbuhan pem dan an. Sementara berdaya itu sendiri memiliki asal kata daya. Daya dimaknakan sebagai sebuah kekuatan yang ada dalam diri maupun kelompok. Dengan daya itulah seseorang maupun kelompok bisa bergerak. Dengan demikian pemberdayaan itu tentulah tugas yang tidak hanya menyangkut “luaran” diri seseorang maupun kelompok, tapi juga hal-hal yang bersifat internal seperti psikologis seseorang dan struktur dalam komunitas.

Dalam menjadikan masyarakat sebagai subjek, kita harus membagi pemberdayaan itu ke dalam dua hal, pemberdayaan individu dan pemeberdayaan kelompok. Pemberdayaan individu ditunjukkan kepada bagaimana membangun mental seseorang, sehingga dia mampu memiliki daya, yang mana nantinya hal tersebut akan dia tularkan kepada orang-orang disekitarnya. Pemberdayaan individu ini tentunya sangat erat kaitannya dengan penanaman spiritualitas pada diri seseorang, dalam hal ini, pemberdaya (relawan) harus memiliki kemampuan yang sifatnya psikologis.

Secara teoritis, memang wacana untuk menekankan aspek spiritualitas dalam melakukan suatu kegiatan pengembangan masyarakat telah banyak dicanangkan, misalnya saja sebagaimana yang dikonsepsikan Jim Ife dalam Teori Pengembangan Masyarakatnya. Namun demikian, sebagaimana yang saya katakan dimuka, kendala terbesar suatu pemberdayaan itu adalah minimnya aplikasi konsep. Artinya, konsep kita sudah begitu banyak, namun realitasnya masih saja jauh panggang dari api.

Sejauh ini, konsep pemberdayaan kita hanya menyentuh tataran komunal, sehingga aspek-aspek penting dalam individu seseorang tidak terjamah, padahal hal itu sangat menentukan nantinya ketika kita akan membentuk struktur pemberdayaan dalam hal komunal masyarakatnya. Artinya ada dua tahapan dalam pemberdayaan, tahapan individu dan tahapan kelompok.  

Pemeberdayaan individu haruslah matang, setelahnya barulah bisa dilanjutkan dengan pemberdayaan kelompok. Dalam tingkatan ini, pemberdayaan hanya mencakup bagaimana menghubungkan satu individu dengan individu lain untuk saling bekerjasama dalam rangka menemukan inovasi-inovasi maupun menyelesaikan problem-problem yang ada di masyarakat. Artinya, struktur pemberdayaan nantinya akan dibangung melalui komposisi individu-individu yang matang.

Dalam tulisan ini saya ingin menyinggung sedikit tentang sosok pemberdaya yang menerapkan model pemberdayaan sebagaimana di atas, sebut saja Pak Izar. Dia adalah seorang pemberdaya sejati, dia berasal dari Sidoarjo namun untuk kepentingan pemberdayaan dia telah menggadaikan dirinya untuk berjuang dan kini tinggal di Malang Selatan, Bajulmati.

Salah satu model pemberdayaan individu yang dilakukannya adalah membekali generasi muda dengan ilmu-ilmu agama (pendidikan). Uniknya, pendidikan yang beliau gagas cukup menarik, Pak Izar menerapkan konsep sekolah alam, dimana peserta didik di samping menerima materi-materi pelajaran dari buku, juga diajak untuk melakukan tadabbur alam dengan cara menelusuri sungai, mendaki gunung, juga mebersihkan pantai.

Hasil yang diperolah dari konsep pemberdayaan seperti ini juga cukup signifikan, Bajulmati kini bisa bernafas sedikit lega, karena disamping akses jalan yang sudah bagus akibat lobi-lobi birokasi oleh sang pemberdaya, juga karena mereka memiliki “tabungan emas” untuk generasi yang akan datang. Generasi emas inilah nantinya yang akan membentuk sebuah jaring pemberdayaan yang kuat (karena berakar pada individu), sehingga urusan pemberdayaan kelompok tidak terlalu berat.

Tentunya, pemberdayaan individu dan kelompok ini sebenarnya adalah satu, keduanya merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dalam menerapkan konsep “pemberdayaan oleh masyarakat”. Dalam konsep ini, sekali lagi, masyarakat tidak dijadikan sebagai objek semata, tapi juga berperan sebagai subjek, artinya masyarakat untuk masyarakat. Dengan demikianlah pemberdayaan yang sesungguhnya itu bisa tercapai. Semoga! 


Ditulis oleh: Muhammad War'i


0 comments:

Post a Comment