Telah banyak orang yang menulis tentang pemberdayaan dengan konsep
selangit dan retorika yang tak terbatas, namun kita masih kekurangan aplikasi
dari semua itu, kita membutuhkan kerja kongkrit untuk turun lapangan, bukan
hanya bermain kata-kata. Pemberdayaan yang diartikan sebagai menguatkan atau
menjadi masyarakat berdaya dalam hidupnya, memang kini merupakan sesuatu yang
tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Saya pribadi sudah mengamati beberapa lembaga pengabdian, dan
diantaranya saya juga ikut terjun di dalamnya. Ada beberapa persoalan mendasar
yang kita hadapai ketika terjun di lapangan, yang paling terlihat jelas itu
adalah pembedayaan yang menjadikan masyarakat hanya sebagai objek, mereka
menggunakan istilah “Pemberdayaan Masyarakat” yang sering kali disingkat PM.
Ketika masyarakat dijadikan sebagai objek, pemberdayaan hanyalah
sebuah formalitas tanpa hasil yang jelas. Iya demikianlah kesimpulan saya
setelah mengikuti beberapa program pengabdian masyarakat. Jika kita
memposisikan masyarakat hanya sebagai objek, maka relawan (atau pengabdi) hanya
akan memberikan bantuan konsep maupun tenaga dengan skala waktu tertentu. Jika
ukuran waktu itu telah habis, maka proses di masyarakat juga selesai, dengan
demikian aktivitas tersebut, hanya dikatan program pengabdian kepada
masyarakat, bukan pemberdayaan.
Demikianlah kenapa kemudian saya mengajukan sebuah pandangan, bahwa
istilah pemberdayaan masyarakat harus ditambah kata “oleh” diantara kedua kata
tersebut, jadi redaksi yang kita gunakan adalah “pemberdayaan oleh masyarakat”.
hal ini agar masyarakat tidak terkesan menjadi objek, tapi juga sebagai subjek
aktivitas pemberdayaan.
Jika kita menelususri kata pemberdayaan, kata tersebut berasal dari
kata berdaya yang memiliki imbuhan pem dan an. Sementara
berdaya itu sendiri memiliki asal kata daya. Daya dimaknakan sebagai
sebuah kekuatan yang ada dalam diri maupun kelompok. Dengan daya itulah
seseorang maupun kelompok bisa bergerak. Dengan demikian pemberdayaan itu
tentulah tugas yang tidak hanya menyangkut “luaran” diri seseorang maupun
kelompok, tapi juga hal-hal yang bersifat internal seperti psikologis seseorang
dan struktur dalam komunitas.
Dalam menjadikan masyarakat sebagai subjek, kita harus membagi
pemberdayaan itu ke dalam dua hal, pemberdayaan individu dan pemeberdayaan
kelompok. Pemberdayaan individu ditunjukkan kepada bagaimana membangun mental
seseorang, sehingga dia mampu memiliki daya, yang mana nantinya hal tersebut
akan dia tularkan kepada orang-orang disekitarnya. Pemberdayaan individu ini
tentunya sangat erat kaitannya dengan penanaman spiritualitas pada diri
seseorang, dalam hal ini, pemberdaya (relawan) harus memiliki kemampuan yang
sifatnya psikologis.
Secara teoritis, memang wacana untuk menekankan aspek spiritualitas
dalam melakukan suatu kegiatan pengembangan masyarakat telah banyak dicanangkan,
misalnya saja sebagaimana yang dikonsepsikan Jim Ife dalam Teori
Pengembangan Masyarakatnya. Namun demikian, sebagaimana yang saya katakan
dimuka, kendala terbesar suatu pemberdayaan itu adalah minimnya aplikasi
konsep. Artinya, konsep kita sudah begitu banyak, namun realitasnya masih saja
jauh panggang dari api.
Sejauh ini, konsep pemberdayaan kita hanya menyentuh tataran
komunal, sehingga aspek-aspek penting dalam individu seseorang tidak terjamah,
padahal hal itu sangat menentukan nantinya ketika kita akan membentuk struktur
pemberdayaan dalam hal komunal masyarakatnya. Artinya ada dua tahapan dalam
pemberdayaan, tahapan individu dan tahapan kelompok.
Pemeberdayaan individu haruslah matang, setelahnya barulah bisa
dilanjutkan dengan pemberdayaan kelompok. Dalam tingkatan ini, pemberdayaan
hanya mencakup bagaimana menghubungkan satu individu dengan individu lain untuk
saling bekerjasama dalam rangka menemukan inovasi-inovasi maupun menyelesaikan
problem-problem yang ada di masyarakat. Artinya, struktur pemberdayaan nantinya
akan dibangung melalui komposisi individu-individu yang matang.
Dalam tulisan ini saya ingin menyinggung sedikit tentang sosok
pemberdaya yang menerapkan model pemberdayaan sebagaimana di atas, sebut saja
Pak Izar. Dia adalah seorang pemberdaya sejati, dia berasal dari Sidoarjo namun
untuk kepentingan pemberdayaan dia telah menggadaikan dirinya untuk berjuang
dan kini tinggal di Malang Selatan, Bajulmati.
Salah satu model pemberdayaan individu yang dilakukannya adalah
membekali generasi muda dengan ilmu-ilmu agama (pendidikan). Uniknya,
pendidikan yang beliau gagas cukup menarik, Pak Izar menerapkan konsep sekolah
alam, dimana peserta didik di samping menerima materi-materi pelajaran dari
buku, juga diajak untuk melakukan tadabbur alam dengan cara menelusuri
sungai, mendaki gunung, juga mebersihkan pantai.
Hasil yang diperolah dari konsep pemberdayaan seperti ini juga
cukup signifikan, Bajulmati kini bisa bernafas sedikit lega, karena disamping
akses jalan yang sudah bagus akibat lobi-lobi birokasi oleh sang pemberdaya,
juga karena mereka memiliki “tabungan emas” untuk generasi yang akan datang.
Generasi emas inilah nantinya yang akan membentuk sebuah jaring pemberdayaan
yang kuat (karena berakar pada individu), sehingga urusan pemberdayaan kelompok
tidak terlalu berat.
Tentunya, pemberdayaan individu dan kelompok ini sebenarnya adalah
satu, keduanya merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dalam menerapkan
konsep “pemberdayaan oleh masyarakat”. Dalam konsep ini, sekali lagi,
masyarakat tidak dijadikan sebagai objek semata, tapi juga berperan sebagai
subjek, artinya masyarakat untuk masyarakat. Dengan demikianlah pemberdayaan
yang sesungguhnya itu bisa tercapai. Semoga!
Ditulis oleh: Muhammad War'i
0 comments:
Post a Comment