Jidat hitam belakangan ini menjadi trand di beberapa kelompok atau komunitas. Orang-orang ketika melihat seseorang yang memiliki jidat yang hitam, maka pandangan atau pikiran mereka pasti akan merujuk kepada suatu kelompok yang kebanyakan pengikutnya berjidat hitam. Tanpa ingin menyebut merek kelompok tersebut, saya ingin membincang terkait fenomena jidat hitam tersebut. Tulisan ini hanyalah sebuah perbicangan semiotik yang ingin saya hadirkan sebagai diskusi kecil kita pagi ini.
Jidat hitam, secara ideologi sebenarnya salah satu tanda
seorang yang rajin beribadah. Ini terdapat dalam ayat terakhir dalam surat al-fath.
Kata atsaris sujud dalam ayat tersebut seringkali diinterpretasikan
dengan jidat hitam. Iyah ini cukup rasional karena semakin sering seseorang
sujud, maka akan terlihat tanda dari aktivitas tersebut berupa hitam sebagai
konsekuensi alamiah jika pergesekan antara benda terjadi (antara kening dan
tempat sujud).
Dewasa ini cukup banyak orang yang memiliki jidat hitam,
apakah itu karena ketekunan ibadah ataupun yang lainnya. Biasanya beberapa
kelompok dalam islam menjadikan hal tersebut sebagai identitas, artinya jika
belum hitam keningnya maka keanggotaanya masih dipertanyakan. Kenyatan semacam
ini membuat tanda jidat hitam (atsaris sujud) mengalami premordialisasi,
yakni berupa penyempitan makna ketaatan beragama. seseorang yang memiliki jidat
hitam sering kali dinilai sebagai seorang yang tekun ibadah atau menjadi bagian
dari kelompok ideologi tertentu, padahal jidat hitam kadang kala bukan karena
ketekunan ibadah, namun mungkin pernah kecelakaan dan sebagainya.
Memiliki jidat hitam bukanlah suatu yang patut dibanggakan,
karena ukuran ketaatan seseorang bukanlah pada simbol-simbol yang diciptakan
manusia, tapi pada bagaimana intraksi manusia dengan Tuhannya secara vertikal
serta manusia lainnya secara horizontal. Bahkan sering kali memiliki jidat
hitam menjadi guyonan beberapa orang. Saya pribadi (tanpa sadar ternyata saya
memiliki jidat hitam) sering kali digurau oleh teman saya, katanya “engkau
lebih pantas menggunakan baju koko dan celana panjang yang berukuran di atas
mata kaki.”
Menanggapi hal tersebut, saya selalu mengarang cerita (untuk
menghindari diri dari dikatakan kelompok tertentu), saya katakan bahwa tanda
hitam di kening saya bukanlah karena saya rajin ibadah solat, tapi karena
pernah kecelakaan. (ini sebenarnya dikarang oleh teman saya sendiri) dulu saat
SMA saya ikut dalam klub pertandingan futsal, ketika akan mengheding bola,
ternyata bolanya diambil kiper duluan dan akhirnya kening saya justru menyudul
tiang gawang. Tentang cerita ini, seorang yang sebenarnya ingin meledek saya,
justru dibuat tertawa. Ah, aku pun sering ikut tertawa.
Terlepas dari semua itu, tanda jidat hitam sebenarnya tidak
perlu dipermasalahkan, karena ketika itu adalah tanda seorang rajin ibadah,
maka tentu itu adalah kebaikan, dan jika tanda itu karena kecelakaan tentu itu
adalah kecerobohan. Maka dari itu yah biarkan saja toh semua memiliki tanda
masing-masing untuk memaknai diri di hadapan Tuhan.
Tapi kemudian saya tertarik mengkaji jidat hitam secara
semiotika. (hemmm, sambil memperbaiki kerah baju) dalam hal ini meminjam teori Roland
Barthes tentang kode. Dia membagi kode itu menjadi lima macam. Dalam hal
ini saya hanya menyebutkan yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu kode
semik. Kode semik atau kode konotatif adalah makna yang muncul dari proses
interpretasi tanda karena adanya tema yang diketahui sebelumnya oleh pembaca
tanda.
Nah, kembali kepada kasus jidat hitam, jika menggunakan kode
semik ala Barthes, maka munculnya interpretasi jidat hitam sebagai tanda
ketaatan beragama sangat dipengaruhi oleh pemahaman sebelumnya, bahwa orang
yang memiliki tanda seperti itu biasanya adalah orang yang rajin solat. Namun
interpretasi ini kemudian bergeser, yang sebelumnya menunjukkan demikian
menjadi identitas kelompok tertentu. Interpretasi kedua ini juga dipengaruhi
oleh pengetahuan pembaca tanda (jidat hitam) bahwa orang yang memiliki tanda
demikian itu adalah anggota golongan ini atau itu. Dengan demikian, terjadi
pergeseran paradigma (silahkan baca Thomas Khun).
Model interpretasi seperti ini membuat saya cendrung
memahami bahwa fenomena jidat hitam memiliki dua konsekuensi, yang pertama
seorang yang berjidat hitam cendrung diolok-olok, atau jika tidak demikian,
cendrung dimasukkan ke dalam golongan tertentu. Ini adalah pemahaman yang saya
tangkap dari beberapa intraksi sosial yang saya lakukan. Namun masih tersisa
satu interpretasi yang mungkin sifatnya subjektif dan kalaim kebenaran
kelompok. Kelompok yang menjadikan jidat hitam sebagai identitas penting di
dalam kelompoknya memaknakan hal tersebut sebagai lambang ketaatan, mungkin
saja ini dipengaruhi oleh ayat terakhir dalam surat al-Fath yang saya kemukakan
di atas.
Jidat hitam, akhirnya kembali kepada pemahaman
masing-masing, menurut latar interpretasi yang dimiliki seorang pengamat tanda.
Apakah kita mau memaknakan itu sebagai ketaatan beragama atau bekas insiden
kecelakaan, terserah! toh kita sama-sama punya urusan untuk memaknai setiap
laku gerak kita dengan hal yang sebaik-baiknya. Tanda hanya gambaran yang bisa
dibaca manusia dengan jutaan interpretasi yang dipastikan terjadi perbedaan di
dalamnya.
0 comments:
Post a Comment