Friday, November 21, 2014

Semiotika Jidat Hitam


Jidat hitam belakangan ini menjadi trand di beberapa kelompok atau komunitas. Orang-orang ketika melihat seseorang yang memiliki jidat yang hitam, maka pandangan atau pikiran mereka pasti akan merujuk kepada suatu kelompok yang kebanyakan pengikutnya berjidat hitam. Tanpa ingin menyebut merek kelompok tersebut, saya ingin membincang terkait fenomena jidat hitam tersebut. Tulisan ini hanyalah sebuah perbicangan semiotik yang ingin saya hadirkan sebagai diskusi kecil kita pagi ini.

Jidat hitam, secara ideologi sebenarnya salah satu tanda seorang yang rajin beribadah. Ini terdapat dalam ayat terakhir dalam surat al-fath. Kata atsaris sujud dalam ayat tersebut seringkali diinterpretasikan dengan jidat hitam. Iyah ini cukup rasional karena semakin sering seseorang sujud, maka akan terlihat tanda dari aktivitas tersebut berupa hitam sebagai konsekuensi alamiah jika pergesekan antara benda terjadi (antara kening dan tempat sujud).

Dewasa ini cukup banyak orang yang memiliki jidat hitam, apakah itu karena ketekunan ibadah ataupun yang lainnya. Biasanya beberapa kelompok dalam islam menjadikan hal tersebut sebagai identitas, artinya jika belum hitam keningnya maka keanggotaanya masih dipertanyakan. Kenyatan semacam ini membuat tanda jidat hitam (atsaris sujud) mengalami premordialisasi, yakni berupa penyempitan makna ketaatan beragama. seseorang yang memiliki jidat hitam sering kali dinilai sebagai seorang yang tekun ibadah atau menjadi bagian dari kelompok ideologi tertentu, padahal jidat hitam kadang kala bukan karena ketekunan ibadah, namun mungkin pernah kecelakaan dan sebagainya.

Memiliki jidat hitam bukanlah suatu yang patut dibanggakan, karena ukuran ketaatan seseorang bukanlah pada simbol-simbol yang diciptakan manusia, tapi pada bagaimana intraksi manusia dengan Tuhannya secara vertikal serta manusia lainnya secara horizontal. Bahkan sering kali memiliki jidat hitam menjadi guyonan beberapa orang. Saya pribadi (tanpa sadar ternyata saya memiliki jidat hitam) sering kali digurau oleh teman saya, katanya “engkau lebih pantas menggunakan baju koko dan celana panjang yang berukuran di atas mata kaki.”

Menanggapi hal tersebut, saya selalu mengarang cerita (untuk menghindari diri dari dikatakan kelompok tertentu), saya katakan bahwa tanda hitam di kening saya bukanlah karena saya rajin ibadah solat, tapi karena pernah kecelakaan. (ini sebenarnya dikarang oleh teman saya sendiri) dulu saat SMA saya ikut dalam klub pertandingan futsal, ketika akan mengheding bola, ternyata bolanya diambil kiper duluan dan akhirnya kening saya justru menyudul tiang gawang. Tentang cerita ini, seorang yang sebenarnya ingin meledek saya, justru dibuat tertawa. Ah, aku pun sering ikut tertawa.

Terlepas dari semua itu, tanda jidat hitam sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, karena ketika itu adalah tanda seorang rajin ibadah, maka tentu itu adalah kebaikan, dan jika tanda itu karena kecelakaan tentu itu adalah kecerobohan. Maka dari itu yah biarkan saja toh semua memiliki tanda masing-masing untuk memaknai diri di hadapan Tuhan.

Tapi kemudian saya tertarik mengkaji jidat hitam secara semiotika. (hemmm, sambil memperbaiki kerah baju) dalam hal ini meminjam teori Roland Barthes tentang kode. Dia membagi kode itu menjadi lima macam. Dalam hal ini saya hanya menyebutkan yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu kode semik. Kode semik atau kode konotatif adalah makna yang muncul dari proses interpretasi tanda karena adanya tema yang diketahui sebelumnya oleh pembaca tanda.

Nah, kembali kepada kasus jidat hitam, jika menggunakan kode semik ala Barthes, maka munculnya interpretasi jidat hitam sebagai tanda ketaatan beragama sangat dipengaruhi oleh pemahaman sebelumnya, bahwa orang yang memiliki tanda seperti itu biasanya adalah orang yang rajin solat. Namun interpretasi ini kemudian bergeser, yang sebelumnya menunjukkan demikian menjadi identitas kelompok tertentu. Interpretasi kedua ini juga dipengaruhi oleh pengetahuan pembaca tanda (jidat hitam) bahwa orang yang memiliki tanda demikian itu adalah anggota golongan ini atau itu. Dengan demikian, terjadi pergeseran paradigma (silahkan baca Thomas Khun).

Model interpretasi seperti ini membuat saya cendrung memahami bahwa fenomena jidat hitam memiliki dua konsekuensi, yang pertama seorang yang berjidat hitam cendrung diolok-olok, atau jika tidak demikian, cendrung dimasukkan ke dalam golongan tertentu. Ini adalah pemahaman yang saya tangkap dari beberapa intraksi sosial yang saya lakukan. Namun masih tersisa satu interpretasi yang mungkin sifatnya subjektif dan kalaim kebenaran kelompok. Kelompok yang menjadikan jidat hitam sebagai identitas penting di dalam kelompoknya memaknakan hal tersebut sebagai lambang ketaatan, mungkin saja ini dipengaruhi oleh ayat terakhir dalam surat al-Fath yang saya kemukakan di atas.

Jidat hitam, akhirnya kembali kepada pemahaman masing-masing, menurut latar interpretasi yang dimiliki seorang pengamat tanda. Apakah kita mau memaknakan itu sebagai ketaatan beragama atau bekas insiden kecelakaan, terserah! toh kita sama-sama punya urusan untuk memaknai setiap laku gerak kita dengan hal yang sebaik-baiknya. Tanda hanya gambaran yang bisa dibaca manusia dengan jutaan interpretasi yang dipastikan terjadi perbedaan di dalamnya.  



0 comments:

Post a Comment