Tuesday, March 3, 2015

EKSPLORASI NILAI DAN ETIKA PEKERJA SOSIAL DALAM PEMECAHAN MASALAH HIV / AIDS




Oleh: Abdul Najib, S.Sos. I
(pengurus GEMA NW Yogyakarta)

Abstrak
Permasalahan sosial kontemporer semakin hari semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu permasalahan kontemporer yang menjadi masalah dunia dan memerlukan penanganan serius adalah masalah Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency Syndrome. Prevalensi orang yang terkena HIV / AIDS terus meningkat jumlahnya. Untuk itu perlu sebuah pendekatan dalam menghadapi berbagai masalah dalam penanganan kasus orang dalam hiv (ODHA).
Untuk mengubah masalah sosial tersebut diperlukan seorang yang ahli dalam menangani masalahnya, salah satunya adalah pekerja sosial profesional. Profesional saja tidak cukup tanpa ditopang oleh seorang pekerja yang mampu menerapkan nilai-nilai dan etika yang melandasi segala sikapnya. Sikap yang dilandasi dengan nilai serta etiket yang diterapkan akan mampu mampu berkontribusi dalam sagala aspek penanganan.
Strategi Nasional ini merupakan kerangka acuan dan panduan untuk setiap upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, baik oleh pemerintah, masyarakat LSM, keluarga, perorangan, universitas dan lembaga-lembaga penelitian, donor dan badan-badan internasional agar dapat bekerja sama dalam kemitraan yang efektif dan saling melengkapi dalam lingkup keahlian dan kepedulian masing-masing.
Kata Kunci : HIV / AIDS,  Nilai dan Etika, Pekerja Sosial, Pemecahan Masalah, Suatu Pendekatan.
Pendahuluan
Permasalahan sosial kontemporer semakin hari semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu permasalahan kontemporer yang menjadi masalah dunia dan memerlukan penanganan serius adalah masalah HIV/AIDS. Selain HIV/AIDS, persoalan lain yang dihadapi kalangan masyarakat adalah keterbatasan sumber daya pembiayaan bagi kegiatannya, kemerosotan karakter, pergaulan bebas, narkoba, pemerkosaan, eksploitasi pekerja anak, kerusuhan sosial, pembunuhan, menurunnya solidaritas sosial, dan masalah lainnya.[1] Dalam kurun waktu lima belas tahun, epidemi Human Immunodeficiency virus (HIV) memasuki kesadaran kita sebagai suatu bencana yang tidak dapa dipahami, sudah menelan beribu-ribu korban, menimbulkan banyak kesedihan dan kepeedihan yang sangat mendalam, menimbulkan ketidakpastian serta kekhwatiran dan ketakutan, serta kehancuran ekonomi yang mengancam.[2]
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu suatu kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh virus kekebalan tubuh manusia. Virus tersebut dinamakan HIV (Human Immunodeficiency virus).  Sistem kekebalan tubuh biasanya melindungi tubuh terhadap serangan dari penyakit-penyakit yang akan masuk, tetapi bila tubuh telah terinfeksi oleh HIV secara otomatis kekebalan tubuh akan berkurang dan menurun sampai suatu saat tubuh tidak lagi mempunyai daya tahan terhadap penyakit, bila itu terjadi, penyakit yang biasanya tidak berbahayapun akan dapat membuat orang tersebut menderita atau bahkan meninggal.[3]
Sampai saat ini belum ditemukan obat atau vaksin untuk menyembuhkan AIDS. Orang yang telah terifeksi HIV dapat menularkan virus tersebut kepada orang lain selama hidupnya, walaupun tidak merasa sakit dan tampak sehat. HIV terutama banyak terdapat di dalam darah, sperma dan cairan vagina. Kepala secretariat penanggulangan ADIS Nasional dr. Suharto SpkO, DPh, mengungkapakan bahwa hamper di semua Negara angka HIV/AIDS mengalami peningkatan. Karena sifat epidemic penyakit ini, pada orang terkena tidak ada tandanya, tidak kelihatan sakit bahkan kelihatan normal. Jadi seperti fenomena gunung es, jumlah yang kelihatan hanya sedikit dari jumlah yang sebenarnya. Selain itu, kemampuan untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS selama ini masih sangat terbatas.[4]
Namun hingga saat ini pemerintah dan berbagai lembaga yang dinaunginya mulai menyusun berbagai strategi guna untuk melakukan penekanan terhadap perkembangan virus tersebut. Berbagai langkah kebijakan telah diambil, namun pemerintah masih membutuhkan partsipasi dari masyarakat, tokoh agama, dan LSM. Sehingga dapat mempermudah proses kampanye, sosialisa, dan berbagai kegiatan yang dapat menekan penularan terkait sengan virus HIV/AIDS.
Untuk menunjang penekanan terhadap perkembangan HIV/AIDS diperlukan seorang figur dalam hal ini adalah pekerja sosial. Untuk menjamin profesionalitas seorang pekerja sosial dituntut agar mampu mengimplementasikan nilai-nila yang ada. Hal ini bertujuan untuk menjunjung tinggi etika dalam penanganan serta menerapkan aspek moralitas yang tinggi.
Deskripsi Masalah (Prevalensi Perkembangan HIV/AIDS Serta Data Skala Nasional dan Internasional)
Setelah kasus pertama HI0/AIDS ditemukan pada tahun 1981, dewasa ini telah merupakan pandemi, menyerang jutaan penduduk di setiap negara di dunia dan menyerang pria, wanita serta anak-anak. WHO memperkirakan bahwa sekitar 10-12 juta orang dewasa dan anak-anak di dunia telah terinfeksi dan setiap hari sebanyak 5000 orang tertular virus HIV. Menurut estimasi, pada tahun 2000 sekarang sekitar 10 juta penduduk akan hidup dengan AIDS, 8 juta diantaranya akan mati. Pada saat itu laju infeksi pada wanita akan jauh lebih cepat dari pada pria. Dari seluruh infeksi HIV 90% akan terjadi di negara berkembang terutama di Asia, negara yang paling parah terkena antara lain: Thailand diperkirakan antara 500 ribu dan 800 ribu penduduknya telah terinfeksi, India sudah mencapai rata-rata antara 2-5 juta, di Bombay sudah 50% pekerja seks dan 22,5% perempuan hamil sudah terinfeksi virus HIV.
AIDS di Indonesia ditangani oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan memiliki Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk wilayah Indonesia. Ada 79 daerah prioritas di mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau delapan provinsi: Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS. Perkiraan prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh negeri, dengan pengecualian Provinsi Papua, di mana angka epidemik diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan utamanya adalah melalui hubungan seksual tanpa menggunakan pelindung.[5] Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500 jiwa. Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat terlarang melalui jarum suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung dalam kegiatan prostitusi dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan hubungan seksual dengan sesama pria. Sejak 30 Juni 2007, 42% dari kasus AIDS yang dilaporkan ditularkan melalui hubungan heteroseksual dan 53% melalui penggunaan obat terlarang.[6] Jadi dapat disimpulkan bahwa secara kumulatif HIV & AIDS 1 April 1987 s.d. 30 Juni 2014, adalah: Jumlah HIV 142.950 dan AIDS 55.623.[7] lebih detailnya dapat dilihat pada table berikut.
Jumlah Kasus Baru HIV & AIDS dan Kematian
Berdasarkan Tahun Pelaporan
 
Prevalensi Kasus AIDS per 100.000 Penduduk
Berdasarkan Propinsi
No.
Propinsi/Province
Prevalensi
1
Papua
359.43
2
Papua Barat/West Papua
228.03
3
Bali


109.52
4
DKI Jakarta
77.82
5
Kalimantan Barat/West Kalimantan
38.65
6
Sulawesi Utara/North Sulawesi
35.14
7
Maluku/Moluccas
33.39
8
DI Yogyakarta/Jogjakarta
26.49
9
Bangka Belitung
25.67
10
Jawa Timur/East Java
23.95
11
Kepulauan Riau/Riau Archipelago
22.75
12
Sulawesi Selatan/South Sulawesi
21.20
13
Riau
19.93
14
Sumatera Barat/West Sumatra
19.64
15
Maluku Utara/North Moluccas
15.89
16
Jambi
14.13
17
Sumatera Utara/North Sumatra
12.12
18
Sulawesi Tenggara/SE Sulawesi
11.91
19
Jawa Tengah/Central Java
11.63
20
Nusatenggara Timur/East Nusa Tenggara
10.59
21
Nusatenggara Barat/West Nusa Tenggara
10.13
22
Kalimantan Selatan/South Kalimantan
10.04
23
Banten
9.80
24
Jawa Barat/West Java
9.66
25
Kalimantan Timur/East Kalimantan
9.34
26
Bengkulu
9.33
27
Sulawesi Tengah/Central Sulawesi
7.21
28
Gorontalo
6.54
29
Lampung
5.56
30
Sumatera Selatan/South Sumatra
5.49
31
Kalimantan Tengah/Central Kalimantan
4.84
32
NAD/Aceh
4.29
33
Sulawesi Barat/West Sulawesi
0.52

Nasional
23.41
Permasalahan HIV/AIDS semakin menunjukkan kecendrungan meningkat, sehingga perlu tindakan untuk mengantisipasi peningkatan permasalahan HIV/AIDS. Banyak penyebab dari tertularnya seorang oleh HIV/AIDS antara lain:
1.      Mereka yang mempunyai banyak pasangan seksual, baik homo maupun hetero.
2.      Penerima transfusi darah.
3.      Bayi yang dilahirkan dari ibu yang positif HIV.
4.      Pecandu narkotika secara suntikan.
5.      Pasangan dari pengidap AIDS atau yang positif HIV.
6.      Prilaku seks beresiko tinggi dan makin maraknya industry seks.
7.      Kurangnya informasi tentang penularan HIV/AIDS dan masalah budaya.[8]
Faktor lain yang menyebabkan terus meningkat kasus AIDS di Indonesia adalah kurangnya informasi tentang penularan HIV/AIDS dan dan masalah budaya. Kultur kita masih belum terbuka untuk membicarakan masalah yang sensitive. Seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Di satu sisi kita tidak bias mengubah masyarakat, masyarakat punya kultur sendiri, punya cara dan budaya unik.[9]
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini dimana banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS dari suaminya yang sering melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya. Hal ini disebabkan oleh budaya permisif yang sangat berat dan perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai bargaining position (posisi rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar perempuan tidak memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah HIV /AIDS Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial pencegahan HIV /AIDS, pemberian konseling dan pelayanan sosial bagi penderita HIV /AIDS yang tidak mampu. Selain itu adanya pemberian pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar kematian dapat dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS dapat berperan sosial dengan baik dalam kehidupanya.[10]
Eksplorasi Nilai dan Etika Pekerja Sosial dalam Pemecahan Masalah HIV/AIDS: Suatu Pendekatan
Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos artinya susila, keadaban, kelakuan atau perlakuan yang baik. Dalam sejarah filsafat Barat, etika adalah cabang filsafat yang sangat berpengaruh sejak zaman Sokrates (470-399 SM). Etika membahas baik-buruk tingkah laku/tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia berbuat dan bertindak.[11]  
Etika sering disebut sebagai filsafat moral. Etika adalah kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara tentang nilai.[12]
Haidar Bagir[13] mensinyalir bahwa pada umunya pandangan-pandangan mengenai etika yang berkembang dibelahan dunia ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a.       Etika hedonistik, hedonisme mengarahkan etika keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya kesenangan bagi manusia.
b.      Etika utilitaristik, etika ini sedikit mengoreksi etika hedonistic bahwa kesenangan atau kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu etika yang baik adalah kebahagiaan sebanyak mungkin orang, dan bukan kesenangan untuk individual-yang disisi lain mungkin justru menimpakan kesengsaraan bagi jauh lebih banyak orang.
c.       Etika deontologis, memandang bahwa sumber dari kekuatan etis adalah kewajiban.
Sedangkan nilai adalah seperti yang Pincus dan Minahan menyatakan dalam Isbandi Rukminto nilai adalah keyakinan, preferensi ataupun asumsi mengenai apa yang diinginkan atau dianggap baik oleh manusia. Nilai yang dianut oleh seseorang dapat menentukan sikap dan tindakan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.[14]
Berbeda dengan pernyataan pengetahuan yang diuji benar salahnya melalui proses kajian terhadap dunia empirik, maka benar dan salah dari suatu nilai muncul berdasarkan suatu kajian. Picus dan Minahan dalam Zastrow melihat nilai bukan sebagai sesuatu yang kita lihat dari dunia kita berdasarkan apa yang kita ketahui, akan tetapi nilai lebih terkait dengan apa yang seharusnya terjadi. Misalnya, “keyakinan bahwa suatu masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk membantu individu  mengembangkan potensi diri mereka (setiap individu)”. Maka pernyataan tersebut lebih berupa pernyataan tentang nilai, dan bukan pernyataan tentang pengetahuan. Pernyataan tersebut bukanlah pernyataan tentang apa yang kita ketahui sudah beraku di masyarakat kita, akan tetapi, pernyataan tersebut adalah sesuatu preferensi  tentang sesuatu yang seharusnya terjadi. Sehingga dasar pembuktiaanya benar atau salahnya, menurut Pincus dan Minhan, bukan pada hasil kajian ilmiah yang empiric. Akan tetapi benar atau salahnya pernyataan tersebut, di dasarkan pada keyakinan yang ada di masyarakat atau muncu berdasarkan kode etik yang akan digunakan sebagai standarbertindak suatu profesi.[15] Dengan adanya nilai di atas maka dapat diterapkan berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah HIV / AIDS.
Berbagai macam pendekatan dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di saat ini. Pendekatan-pendekatan di bawah ini dapat mempengaruhi nilai-nilai di dalam melakukan intervensi seorang pekerja sosial. Berikut adalah pendekatan untuk permasalahan HIV-AIDS di Indonesia. Secara umum, berbagai pendekatan tersebut diantaranya:
1.      Pendekatan Agama
Pendekatan ini bersifat individual dalam arti sangat berhubungan dengan keyakinan masing-masing orang terhadap ajaran agamanya. Semakin orang yakin akan ajaran agamanya, semakin pendekatan ini efektif kegunaannya. Melalui pendekatan agama diajarkan bahwa masalah sosial timbul bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma agamanya.
Pelanggaran terhadap norma agama akan mendapat sanksi yang kadang sifatnya sangat abstrak dan sangat tergantung kepada keyakinan para penganutnya (keyakinan tentang adanya sorga bagi yang berbuat baik dan neraka bagi orang “jahat”. Pendekatan ini lebih terasa keefektifannya dalam kerangka preventif dengan cara penanaman nilai-nilai agama sejak dini dari tiap keluarga dalam masyarakat.
Internalisasi nilai-nilai agama pada tiap individu anggota masyarakat diharapkan ia bisa menjadi benteng ataupun juga filter dalam menyaring pengaruh negatif dari sekelilingnya atau dengan kata lain dapat mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai dan norma agama yang pada gilirannya mencegah terhadap terjadinya masalah-masalah sosial.
2.      Pendekatan Hukum
Antara pendekatan hukum dan pendekatan agama ada kesamaan segi historis, dalam arti pendekatan hukum dalam memandang fenomena masalah sosial bisa bersumber pada pendekatan agama. Hanya pada pendekatan hukum biasanya ia berlaku bagi semua anggota masyarakat dimana ia bertempat tinggal dan hukum tersebut diberlakukan.
Pendekatan ini bisa besifat preventif dalam arti masalah sosial dapat dicegah melalui upaya sosialisasi norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat maupun bersifat kuratif atau rehabilitatif dalam arti terhadap pelaku pelanggar norma hukum akan diberikan sanksi tertentu dan diadakan pembinaan agar dia tidak lagi melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma hukum. Mereka yang berperan dalam pendekatan ini antara lain adalah para penegak hukum maupun aparat pemerintah yang berwajib.
3.      Pendekatan Jurnalistik
Dengan pendekatan jurnalistik dimaksudkan sebagai usaha penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan masalah sosial melalui tulisan-tulisan di media cetak. Melalui pendekatan ini masalah sosial diusahakan untuk dikenalkan pada masyarakat baik dalam arti masalah sosial itu sendiri maupun sebab-akibat serta cara-cara menghadapinya. Sampai saat ini majalah, surat kabar masih menjadi sarana yang berharga dalam membangkitkan kesadran masyarakat akan bahaya narkoba, prostitusi, HIV/AIDS dan masalah-masalah sosial lain.
4.      Pendekatan Ekologi
Yaitu suatu metode pendekatan yang yang didasarkan atas konsep dan prinsip ekologi ,dalam arti menelaah masalah sosial sebagai hasil interrelasi antara masyarakat manusia dengan lingkungannya pada suatu ekosistem. pada pendekatan ini kita tidak memisahkan komponen masyarakat manusia dari komponen lingkungannya.
Melalui pendekatan ekologi, pertumbuhan masyarakat manusia di tempat-tempat tertentu, baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan segala aspeknya dipelajari dan dikaji pengaruhnya tehadap lingkungan setempat. Diteliti pengaruhnya tadi apakah tetap seimbang ataukah menimbulkan ketimpangan, sampai sejauh mana ketimpangan tadi menyebabkan terjadinya masalah sosial bagi masyarakat setempat.
Melalui pendekatan ekologi dikaji kemampuan daya tampung lingkungan alam tehadap kehidupan masyarakat manusia di tempat tertentu. Sedangkan daya tampung lingkungan yaitu suatu ukuran tertentu yang menunjukkan jumlah individu yang dapat ditunjang oleh lingkungan tersebut. Manusia merupakan bagian dari alam, bukan penguasa alam oleh karena itu perbuatan manusia yang serampangan tidak terencana yang menimbulkan ketimpangan lingkungan akhirnya merugikan dan mengancam kehidupan ,manusia itu sendiri. Sejak tahun 1960an hingga saat ini, perspektif ekosistem telah menjadi pendekatan yang paling berpengaruh dalam sejarah dan perkembangan pekerjaan sosial di dunia.[16]
Model Penanganan Kasus oleh Pekerja Sosial dalam Memecahkan Masalah HIV/AIDS
Ketika menyinggung masalah peran pekerja sosial maka yang menjadi tantangan kedepan seorang pekerja sosial adalah mengembangkan sebuah program intervensi yang secara sinergis dapat memadukan pendekatan praktis dan pragmatis dalam sebuah kerangka intervensi yang komprehensif dan berkelanjutan.
Model serta peran pekerja sosial dalam penanganan dan memecahkan masalah HIV/AIDS dengan melakukan pendekatan bersama pemerintah secara pragmatis dan praktis tadi terdapat juga pendekatan lain yang memang secara khusus lebih sering dilakukan untuk memecahkan masalah sosial, dalam hal ini HIV-AIDS melalui pendekatan manajemen kasus, seorang pekerja sosial memiliki peranan yang besar dalam hal ini. Peranan adalah sekumpulan kegiatan altruistis yang dilakukan guna tercapainya tujuan yang telah ditentukan bersama antara penyedia dan penerima pelayanan. peranan merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang untuk menggunakan kemampuannya dalam situasi tertentu.[17]
Menyinggung mengenai peran pekerja sosial maka tidak akan terlepas dengan model Manajemen kasus (Case mangement) adalah salah satu pendekatan yang dilakukan oleh pekerja sosial. Manajemen kasus merupakan pelayanan terpadu dan berkesinambungan yang diberikan kepada ODHA untuk dapat menghadapi permasalahan dalam hidupnya. Masalah kesinambungan Manajemen Kasus HIV baru bisa diatasi jika Manager kasus HIV menjadi pegawai fasilitas layanan kesehatan yang juga menerima gaji.[18] Jadi manajemen kasus adalah jasa atau layanan yang mengaitkan dan mengkoordinasi bantuan dari berbagai lembaga dan badan penyedia dukungan medis, psikososial, dan praktis bagi orang-orang yang membutuhkan bantuan itu.
Manajemen kasus adalah salah satu metode pelayanan yang biasa dipergunakan untuk mambantu ODHA. Pelayanan manajemen kasus menggunakan pendekatan pada individu secara holistik dan terpadu yang mengkoordinasikan sistem – sistem sumber yang ada di lingkungannya ( lembaga pemerintah atau non pemerintah, keluarga dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan dan pemecahan masalahnya. Manajemen Kasus adalah pelayanan yang mengkaitkan dan mengkoordinasi bantuan dari berbagai lembaga dan badan penyedia pendekatan dan dukungan medis, psikososial, dan praktis bagi individu-individu yang membutuhkan bantuan itu. Pendekatan itu mempunyai tiga sisi utama yaitu Bio, Psiko dan Sosial. Manajemen kasus ini berkonsentrasi pada upaya meningkatkan kondisi kesehatan pasien berdasarkan intervensi keperawatan yang spesifik, dalam kegiatannya manajemen kasus dilakukan oleh manajer kasus ( DEPSOS, 2008)
Manajemen kasus HIV-AIDS merupakan pelayanan yang berkesinambungan yang melibatkan atau bekerjasama dengan dengan sekto lain, diantaranya dokter, perawat, psikolog, LSM, pejabat pemerintahan, keluarga dan masyarakat.(Nasronudin, 2007)
Manajemen kasus telah menjadi sarana yang efektif untuk membantu ODHA sejak 1980-an. Dengan meningkatnya tahun, maka pelayanan manajemen kasus berkembang lebih baik. Pada tahun-tahun awal epidemik HIV telah dikembangkan sejumlah program manajemen kasus di pusat – pusat penanganan wabah HIV di daerah perkotaan untuk memenuhi makin banyaknya kebutuhan medis dan psikososial ODHA. Selain dari beberapa pernyataan di atas maka ada beberapa peran pekerja sosial dalam manajemen kasus selaku menejer, diantaranya:
1.      Pekerja Sosial sebagai manager kasus, bertujuan untuk mencapai kesinambungan pemberian pelayanan keluraga dan invidu melalui proses penghubungan antara klien dan pelayanan yang diinginkan dan pengkoordinaran pemanfaatan pelayanan tersebut. Peran pekerja sosial sebagai manager kasus mempunyai arti penting bagi klien yang menggunakan pelayanan yang disajikan oleh agen-agen pelayanan. Sebagai manager kasus, pekerja sosial mempunyai cakupan yang luas dalam aktvitasnya. Pekerjaannya dimulai dengan mengidentifikasikan jenis bantuan yang diperlukan, melakukan penyelidikan terhadap faktor yang menjadi penghalang dalam mengatasi masalah, mendukung klien untuk mencoba mengeksplorasikan semua potensinya, memberikan kesempatan kepada klien untuk memperoleh pelayanan langsung. Rumusan suatu kasus mungkin merupakan perencanaan pelayanan yang menunjukkan kebutuhan-kebutuan yang diperlukan klien.
2.      Pekerja Sosial Sebagai seorang professional, bertujuan untuk mulai bekerja dengan kode etik pekerja sosial dan praktek-prakteknya yang kompetensi sangat berperan dalam pengembangan profesi pekerjaan sosial. Pada dasarnya tindakan seorang profesional adalah penuh etika dan bertanggung jawab serta bijaksana. Pekerja sosial harus secara konsisten mengembangkan ketrampilan dan pengetahuannya untuk meningkatkan mutu pelayanannya.
3.      Bertanggungjawab atas terjaminnya kerahasiaan informasi yang terkait dengan anak dan keluarganya, selama maupun setelah proses layanan manajemen kasus.
4.      Dapat membuka atau memberikan informasi kepada pihak lain yang berkepentingan dengan penyelenggaraan layanan atas sepengetahuan dan setelah mendapatkan persetujuan dari ODHA atau orang tua atau walinya yang sah.[19] Untuk lebih spesifiknya tahapan manajemen kasus, menurut DEPSOS proses manajemen kasus HIV dan AIDS dibagi dalam lima tahapan:
1. Penerimaan Awal
Proses manajemen kasus HIV dimulai dengan wawancara awal dan dalam banyak situasi dikombinasikan dengan penerimaan. Tujuan utama wawancara awal adalah membangun hubungan yang menyenangkan yang memfasilitasi pengembangan hubungan kerja kolaboratif dan membangun citra pekerja sosial sebagai penghubung yang aman. Dalam pertemuan pertama ini, peran sebagai penyuluh krisis mungkin akan penting karena memasuki suatu sistem penyampaian pelayanan seringkali terdorong oleh adanya krisis yang memerlukan intervensi segera. Informasi tentang cakupan pelayanan yang tersedia juga dipadukan dalam wawancara awal.
Selama penerimaan itu, dilakukan penilaian awal kebutuhan klien dengan tujuan menjembatani kesenjangan antara kebutuhan pelayanan dan sumber daya sistem. Dalam tahap ini dilakukan tinjauan hak – hak dan kewajiban klien serta prosedur mengajukan keluhan bila terjadi pelayanan yang tidak sesuai dan diperoleh persetujuan klien untuk mendaftarkannya dalam sistem penyediaan pelayanan.
2.      Pengkajian
Proses pengumpulan informasi yang mencakup wawancara tatap muka serta pengumpulan data sekunder dari petugas pelayanan kesehatan dan pelayanan masyarakat. Ini adalah proses kerjasama dan interaktif dimana klien dan manajer kasus mengumpulkan, menganalisis dan memprioritaskan informasi yang mengidentifikasi kebutuhan dan sumberdaya, potensi klien untuk menyusun rencana menangani kebutuhan yang diidentifikasi.
3.      Perencanaan
Rencana pelayanan sangat penting dalam upaya manajemen kasus dan rencana ini disusun berdasarkan informasi yang dihimpun dalam tahap penilaian. Manajer kasus dan klien bekerja sama untuk menyusun daftar masalah dan isu serta untuk merumuskan sasaran jangka panjang dan jangka pendek yang mendukung tujuan menyeluruh pemeliharaan kesehatan dan kemandirian. Diperlukan perencanaan spesifik, yang berpedoman pada sasaran realistik, untuk memprioritaskan kegiatan dan mengidentifikasi cara perolehan, pemantauan, dan pengkoordinasian pelayanan di kalangan lembaga penyedia pelayanan dan sistem perawatan kesehatan.
Perlu diidentifikasi dengan jelas tanggung jawab semua pihak dan batas waktu realistik untuk mencapai sasaran melalui kegiatan yang relevan. Jika pilihan pelayanan tidak tersedia untuk memenuhi kebutuhan, manajer kasus mungkin perlu mempertimbangkan pilihan antara upaya membantu pencarian pilihan dan mendesain solusi antara.
Hal ini lebih mungkin terjadi jika nilai – nilai budaya atau praktik klien tidak sejalan dengan program yang ada, jika klien didiagnosis mengidap lebih dari satu penyakit seperti HIV, penyalahgunaan obat -obatan, dan kelainan mental. Atau jika klien bertempat tinggal di daerah pedesaan yang sedikit tersedia pelayanan yang khusus menangani HIV.
4.      Pelayanan Pengkaitan dan Rujukan
Dalam tahap implementasi, Pekerja Sosial dan klien berupaya melaksanakan rencana pelayanan. Jika persetujuan untuk merujuk telah diperoleh, manajer kasus dapat memainkan beberapa peran untuk memfasilitasi klien menerima pelayanan, termasuk sebagai perantara, pemantau, pendukung, dan pembimbing. Sebagai perantara, manajer kasus menghubungi penyedia pelayanan lainnya untuk memudahkan perujukan klien dan mungkin juga mengatur pelayanan tambahan seperti pengantaran klien ke tempat rujukan pada waktu yang ditentukan. Setelah klien dirujuk ke tempat pelayanan, manajer kasus tetap berhubungan dengan klien secara teratur untuk memastikan bahwa klien telah menerima pelayanan dan hal itu dilakukan dengan cara yang tepat. Adakalanya manajer kasus mungkin perlu mengatasnamakan klien, untuk memastikan penerimaan pelayanan yang diperlukan. Sebagai pembimbing, manajer kasus mendorong klien untuk mengantisipasi hambatan dalam mengakses dan menggunakan pelayanan dan, jika perlu, bekerja sama dengan klien untuk menanggulangi hal itu.
Rencana pelayanan biasanya dilaksanakan mendokumentasi kemajuan klien secara seksama, termasuk tanggal hubungan, informasi tentang siapa yang pertama kali menghubungi dan tindakan apapun yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari hubungan itu. Hambatan pelaksanaan rencana juga harus dicatat, termasuk kepuasan klien dalam pelaksanaan rencana, perubahan yang terjadi dalam pelaksanaannya, dan kemajuan yang diraih dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran. Dalam kaitan ini yang sering membantu dalam menanggulangi kesulitan implementasi adalah supervisi pekerjaan sosial profesional, dukungan rekan sejawat, dan konferensi kasus antar dan intra lembaga.
5.      Monitoring dan Evaluasi
Upaya untuk memastikan mutu program manajemen kasus, termasuk evaluasi hasil, semakin penting. Bukan hanya karena penyandang dana menghendaki informasi lebih banyak tentang efektivitas program manajemen kasus dalam memenuhi kebutuhan klien, tetapi juga karena bidang manajemen kasus HIV - AIDS berubah dengan cepat, sehingga staf dan administrator harus dapat menggunakan waktu yang tersedia secara efektif.
Kegiatan evaluasi dapat mencakup penilaian kepuasan klien terhadap pelayanan yang disediakan, penentuan apakah populasi yang terjangkit dalam wilayah tertentu mengetahui ketersediaan pelayanan, dan pelaksanaan survey penyedia pelayanan dalam hubungannya dengan kepuasan mereka dengan pelayanan manajemen kasus.
Selain metode evaluasi tradisional itu, sebagian program mengkaji evaluasi berdasarkan hasil. Contoh evaluasi hasil dapat mencakup apakah manajemen kasus membantu klien untuk mentaati perawatan atau apakah manajemen kasus meningkatkan kadar aksesibilitas perawatan. Penting diperhatikan bahwa proses peningkatan mutu berlangsung pada tataran mikro dan makro kondisi pelayanan, upaya memenuhi kebutuhan klien, serta masyarakat yang terpengaruh. Segala kegiatan yang bersangkutan diatas meruapak tanggung jawab penuh bagi seorang pekerja sosial professional.
Dalam menjalankan profesinya seorang pekerja sosial selain dilandasi oleh perananan dan nilai maka pekerja sosial juga wajib menjunjung tinggi Kode Etik Profesi, maka untuk menghadapi masalah berupa HIV-AIDS sendiri diterapkan kode etik antara lain:
1.      Pekerja sosial mengutamakan tanggung jawab melayani kesejahteraan individu atau kelompok, yang meliputi kegiatan perbaikan kondisi-kondisi sosial.
2.      Pekerja sosial mendahulukan tanggungjawab profesinya ketimbang kepentingan-kepentingan pribadinya.
3.      Pekerjaan sosial tidak membedakan latar belakang keturunan, warna kulit, agama, umur, jenis kelamin, warganegara serta memberikan pelayanan dalam tugas-tugas serta dalam praktek-praktek kerja.
4.      Pekerjaan sosial melaksanakan tanggung jawab demi mutu dan keluasan pelayanan yang diberikan.
5.      Menghargai dan mempermudah partisipasi ODHA.
6.      Mengahrgai martabat dan harga diri ODHA.
7.      Menerima ODHA apa adanya.
8.      Menerima dan memahami bahwa setiap orang itu adalah unik.
9.      Tidak menghakimi sikap ODHA.
10.  Memahami apa yang dirasakan orang lain/empati.
11.  Menjaga kerahasian ODHA.
12.  Tidak menghadiahi ODHA dan tidak pula menghakimi
13.  Pekerja sosial harus sadar akan keterbatan-keterbatasan yang dimilikinya
Sebagai seorang pekerja sosial yang perlu diperhatikan adalah etika profesi, pada umumnya ada beberapa prinsip etika profesi:
1.      Sikap bertanggung jawab, dalam hal ini dibagi menjadi dua:
a.       Dalam hal ini kita mesti bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang kita lakukan dan terhadap hasilnya. Kita harus mengusahakan agar kita sendiri menguasai tugas dengan sebaik-baiknya, agar kita berkompeten.
b.      Kita harus bertanggung jawab terhadap dampak pekerjaan kita pada kehidupan orang lain.[20]
2.      Hormat terhadap orang lain, Prinsip ini tak lain adalah tuntutan keadilan, keadilan menuntut agar kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
3.      Mendahulukan kepentingan klien, atas kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok.[21]
Seorang pekerja sosial bertugas melaksanakan program pembangunan di bidang kesejahteraan sosial dalam bentuk kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan kegiatan pelayanan sosial. Pekerja sosial juga memiliki kewajiban-kewajiban tertentu terhadap klien. Kewajiban yang dimaksud disini adalah etika sebagai deontologi. Dalam hal ini terhadap ODHA, diantaranya menghargai kepentingan klien, pekerja sosial professional harus mengakui, menghargai dan berusaha sebaik mungkin melindungi kepentingan klien dalam konteks pelayanan. Secara umum kewajiban pekerja sosial profesional terhadap klien dalam penyediaan pelayanan antara lain:
1.      Memberi pelayanan sesuai dengan kompetensi profesionalnya
2.      Memberi informasi yang akurat dan lengkap tentang keluasan lingkup, jenis dan sifat pelayanan
3.      Memberitahukan hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan dan risiko yang melekat pada dan atau timbul dari hubungan pelayanan yang diberikan
4.      Meminta saran, nasehat, dan bimbingan dari rekan sejawat dan penyelia manakala diperlukan demi kepentingan klien
5.      Segera menarik diri dari konteks pelayanan manakala lingkungan dan suasana yang ada tidak lagi memungkinkan bagi pemberian pertimbangan yang seksama, penyampaian pelayanan yang sebaik-baiknya, dan pengurangan atau pencegahan dampak negatif yang mungkin muncul atau terjadi
6.      Memberitahu klien tentang pengakhiran konteks pelayanan baik yang dilakukan melalui pengalihan, perujukan atau pemutusan.
7.      Larangan penyalahgunaan konteks pelayanan oleh pekerja sosial profesional antara lain:
8.      Menggunakan hubungannya dengan klien sebagai alasan untuk dan demi mendapatkan keuntungan pribadinya
9.      Melakukan, menyetujui, membantu, bekerjasama atau ikut serta denganØ konteks pelayanan yang diskriminatif atas dasar ras, golongan, warna kulit, kelamin, orientasi seksual, usia, agama, kebangsaan, status perkawinan, keyakinan politik, perbedaan kapasitas mental atau fisik
10.  Memberikan atau melibatkan diri dalam hubungan dan komitmen yang bertentangan dengan kepentingan klien.
11.  Melakukan kegiatan seksual dengan klien
12.  Pekerja sosial profesional wajib mengakui, menghargai, berupaya mewujudkan dan melindungi hak - hak klien. Pekerja sosial profesional menghargai hak-hak Klien dengan antara lain:
1.      Mengakui, menghargai dan memastikan sebaik-baiknya pewujudan atas dan perlindungan terhadap hak-hak klien, antara lain, atas hidup dan kehidupan, kemerdekaan, kebebasan berpendapat dan kesetaraan dimata hukum
Mengakui, menghargai, dan mewujudkan hak-hak klien dalam menentukan nasibnya sendiri.
2.      Menghormati dan menjaga kerahasiaan klien dalam konteks pelayanan
tidak membiarkan, ikut serta, atau melakukan kegiatan yang melanggar hak-hak klien
Hak asasi adalah pemahaman bahwa setiap orang terlahirkan bebas dan setara dalam martabat dan haknya. Hak klien untuk menentukan nasib sendiri. Dalam menjalankan pekerjaannya, pekerja sosial profesional harus selalu melindungi kepentingan-kepentingan dan hak-hak pribadi klien. Bila pekerja sosial profesional melimpahkan/memberikan wewenang kepada orang lain untuk bertindak demi kepentingan klien, maka dia harus menjaga agar pelayanan itu tetap sesuai dengan kepentingan klien. Pekerja sosial profesional tidak ikut campur dalam tindakan yang melanggar atau mengurangi hak-hak sipil atau hak resmi klien.
Memberitahu klien tentang hak-hak mereka terhadap kerahasiaan dalam konteks pelayanan juga termasuk bila melibatkan orang ketiga kedalam aktifitas mereka. Memberitahukan klien tentang batas-batas dan keperluan kerahasiaan informasi dalam konteks pelayanan. Memperlihatkan (memberitahukan) catatan informasi atas permintaan klien dan dan sejauh itu menyangkut klien yang bersangkutan, dan tidak membiarkan rahasia orang lain terbuka kepada klien tersebut. Tidak membuka rahasia klien kepada orang lain kecuali atas perintah ketentuan hukum. Tidak membuka rahasia klien kepada orang lain walaupun pertimbangan-pertimbangan profesional mengharuskannya kalau tidak mendapatkan persetujuan yang jelas dari klien bersangkutan.
Dalam dokumen internasional tentang hak asasi manusia, ada tiga landasan bagi kategori hak asasi yang merupakan ukuran untuk mengendalikan ancaman yang mungkin ditimbulkan AIDS: hak privasi personal dan kerahasiaan menyangkut informasi seksual dan medis, hak melakukan gerakan yang bebas dalam wilayah Negara seseorang dan berteman dimanapun sebagaimana ia pilih, hak meningkatkan keadaan ekonomi seseorang tanpa pembatasan yang berdasarkan latar belakang yang tidak relevan.[22]
Kerahasiaan, salah satu di antara hak asasi manusia yang mempunyai kaitan tradisional dengan etika kedokteran, adalah hak privasi. Meskipun privasi mempunyai banyak dimensi, aspek pengendalian personal atas informasi pribadi, mungkin merupakan pusat perhatian terbesar terhadap mereka yang berisiko AIDS. Pelanggaran kerahasiaan informasi pribadi tidak hanya melampaui ranah intim, hal-hal tersebut akan mengarah kepada penolakan pekerjaan, asuransi dan perumahan.[23]
Kesimpulan
Eksplorasi nilai dan etika di dalam sebuah profesi tentu menjadi prinsip yang sangat fundamental di dalam melakukan segala tindakan yang ditujukan kepada klien maka. Dalam praktek pekerjaan sosial di bidang HIV-AIDS seorang pekerja sosial dapat melaksanakan tugas dan peranannya, bagaimana menangani seorang klien yang berstatus HIV positif, memberikan solusi dan mendekatkan pada sistem sumber yang ada sehingga tidak terbelennggu dalam menghadapi penyakitnya dan termotivasi kembali dalam menjalani hidupnya.
Untuk menunjang keberhasilan seorang pekerja sosial dalam menangani kklien tentunya harus didasari dengan nilai-nilai yang berlaku dalam sebuah profesi, namun dengan hanya mengandalkan nilai masih belum cukup namun perlu etika di dalam segala tindakan dalam intervensi, karena ini merupakan tumpuan utama dalam menyeleseikan kasus-kasus yang ada. Seorang pekerja sosial harus juga menjunjung tinggi asas-asas ajaran moral sesuai kode etik yang berlaku.
Berbagai pendekatan perlu dilakukan dalam memecahkan berbagai masalah sosial seperti HIV / AIDS. Seperti pendekatan agama, hokum, jurnalistik, ekologi. Segala upaya praktik dari pendekan ini merupakan landasan utama dalam mengeksplorasi nilai dan etika yang dilakukan oleh pekerja sosial.
Tinjaan aspek eksplorasi nilai dan etika dalam pekerja sosial harus se obyek mngkin dan berlandaskan pada kode etik yang berlaku dan memahami nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, keluarga, maupun individu (klien).
Saran / Rekomendasi
1.      Perlunya membentengi diri dengan agama, dan setiap orang harus belajar agar dapat mengendalikan diri, serta memiliki prinsip hidup yang kuat.
2.      Bagi keluarga penderita HIV/AIDS teruslah memotivasi penderita untuk terbiasa hidup dengan HIV/AIDS sehingga bisa melakukan pola hidup sehat,
dan mau beraktivitas dalam meneruskan hidup yang lebih baik.
3.      Segala bentuk kebijakan dan program yang telah disusun oleh pemerintah hendaknya dapat dilaksakan sebagaimana mestinya sehingga dapat menekan angka pertumbahan HIV-AIDS.




























DAFTAR PUSTAKA
Abu Hurairah, 2008. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Model Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan, Bandung: Humaniora.
Alex Sobur, 2001. Etika Pers: Profesionalisme Dengan Nurani, Bandung: Humaniora Utama Pers.
Alan Cantwell, dkk, 20008. Bom AIDS, terj. Ahmad Said (Semarang: Yayasan Nuran.
Benny Sujanto dan Agus Ibraim. 2010. Pedoman Manajemen Kasus Perlindungan Anak (Jakarta:  Direktorat jenderal pelayanan dan rehabilitasi social kemeterian republic Indonesia.
Carol A. Tauer, 2001. AIDS dan Hak Asasi Manusia Sebuah Perspektif Antar Benua, terj. Rosidy Imro Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Dadang Supardan, 2011. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktur. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Departmen Sosial RI. Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta:Depsos RI.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI
E. Sumaryono, dkk. 1993. Etika Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Edi Suharto. 2012. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Edi Suharto. 2004. Analisis Kebijakan Sosial Model dan Panduan Praktis. Bandung: STKS Prees.
Edi Suharto, dkk. 2011. Pekerjaan Sosial Di Indonesia Sejarah dan Dinamika Perkembangan Yogyakarta: Samudra Biru.
Elizabeth Reid, HIV & AIDS Interkoneksi Global, tetrj. Elly Wiriawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Fleishman, 1998. Manajemen Kasus. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haidar Bagir, 2005. Buku Filsafat Islam. Bandung: Arasy Mizan.
Isbandi Rukminto Adi, 2013. Ksejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan) Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo, Prsada.
Jan Hendrik Raoar, 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Joel Gallant, MD. MPH. 2010. 100 Tanya Jawab Mengenai HIV dan AIDS. Jakarta: PT Indeks.
KOMPAS. Penyakit Menluar: Penanganan HIV/AIDS Terhambat Stigma. Senin, 22 Juli 2013. Hal 13.
Larry May, dkk. 2001. Etika Terapan: Sebuah Pengantar Multikultural II, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Miftachul Huda, 2009. Pekerjaan Sosial & Kesejahteraan Sosial Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mohammad Muslih, 2005. Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta: Belukar.
Neni Endriani, dalam seminar, Bahaya HIV AIDS di Lingkungan Sekitar, di Pondok Pesantren Nurul Haramain Putra 26 Juli 2010.
Soetomo, 2013. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutaat.2003. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Volume 8 Nomor 04 Desember 2003. Jakarta: Puslitbang Usaha Kesejahteraan Sosial Departmen Sosial RI.
Sumber Website
Waspada AIDS: Kasus HIV/AIDS di Indonesia Lima Tahun ke Depan Akan Terus Bertambah (www.mediaindo.co.id)
http://aidsyogya.or.id/2014/data-hiv-aids/data-kasus-triwulan-i-2014/July 11, 2014 by kpadiy Posted on July 11, 2014 by kpadiy.
Data Dan Informasi Lengkap Tentang AIDS di Indonesia serta link-link yang Membantu www.1.rad.net.id/aids/-2k- Cached – Simi - Lar Pages). Diakses 22-10-2014.





[1] Abu Hurairah, Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Model Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan, (Bandung: Humaniora, 2008), hlm. 10.
[2] Elizabeth Reid, HIV & AIDS Interkoneksi Global, etrj. Elly Wiriawan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. xvii.
[3] Edi Suharto. Analisis Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2012). hlm. 201-202.
[4] Ibid., hlm. 202.
[5]Data Dan Informasi Lengkap Tentang AIDS di Indonesia serta link-link yang Membantu www.1.rad.net.id/aids/-2k- Cached – Simi - Lar Pages). Diakses 22-10-2014.
[6] KOMPAS. Penyakit Menluar: Penanganan HIV/AIDS Terhambat Stigma. Senin, 22 Juli 2013. Hal 13.
[7] Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI                                      
[8] Edi Suharto. Analisis Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2012). hlm. 204.
[9] Ibid., hlm. 204-205.
[10] Ibid., hlm. 205-206.
[11] Jan Hendrik Raoar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996).hlm. 62.
[12] Mohammad Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis (Yogyakarta: Belukar, 2005). hlm. 123-124.
[13] Haidar Bagir, Buku Filsafat Islam (Bandung: Arasy Mizan, 2005).hlm. 194-195.
[14] Isbandi Rukminto Adi, Ksejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan) Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo, Prsada, 2013), hlm.80.
[15] Ibid., hlm. 81.
[16] Edi Suharto, dkk. Pekerjaan Sosial Di Indonesia Sejarah dan Dinamika Perkembangan (Yogyakarta: Samudra Biru, 2011), hlm. 67.
[17] Edi Suharto, dkk. Pekerjaan Sosial Di Indonesia Sejarah dan Dinamika Perkembangan ,….. hlm. 154.
[18] Fleishman, Manajemen Kasus (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 37.
[19] Benny Sujanto dan Agus Ibraim, Pedoman Manajemen Kasus Perlindungan Anak (Jakarta:  Direktorat jenderal pelayanan dan rehabilitasi social kemeterian republik Indonesia, 2010), hlm. 50.
[20] E. Sumaryono, dkk. Etika Sosial (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 72.
[21] Ibid., hlm.73.
[22] Carol A. Tauer, AIDS dan Hak Asasi Manusia Sebuah Perspektif Antar Benua, terj. Rosidy Imro (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2001), hlm. 222.
[23] Ibid., 224.

0 comments:

Post a Comment