Oleh: Abdul Najib, S.Sos. I
(pengurus GEMA NW Yogyakarta)
Abstrak
Permasalahan
sosial kontemporer semakin hari semakin meningkat baik kualitas maupun
kuantitasnya. Salah satu permasalahan kontemporer yang menjadi masalah dunia
dan memerlukan penanganan serius adalah masalah Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency Syndrome. Prevalensi orang yang terkena HIV / AIDS terus meningkat jumlahnya.
Untuk itu perlu sebuah pendekatan dalam menghadapi berbagai masalah dalam
penanganan kasus orang dalam hiv (ODHA).
Untuk
mengubah masalah sosial tersebut diperlukan seorang yang ahli dalam menangani
masalahnya, salah satunya adalah pekerja sosial profesional. Profesional saja
tidak cukup tanpa ditopang oleh seorang pekerja yang mampu menerapkan
nilai-nilai dan etika yang melandasi segala sikapnya. Sikap yang dilandasi
dengan nilai serta etiket yang diterapkan akan mampu mampu berkontribusi dalam
sagala aspek penanganan.
Strategi Nasional ini
merupakan kerangka acuan dan panduan untuk setiap upaya penanggulangan HIV/AIDS
di Indonesia, baik oleh pemerintah, masyarakat LSM, keluarga, perorangan,
universitas dan lembaga-lembaga penelitian, donor dan badan-badan internasional
agar dapat bekerja sama dalam kemitraan yang efektif dan saling melengkapi
dalam lingkup keahlian dan kepedulian masing-masing.
Kata
Kunci : HIV / AIDS, Nilai dan Etika, Pekerja Sosial, Pemecahan
Masalah, Suatu Pendekatan.
Pendahuluan
Permasalahan
sosial kontemporer semakin hari semakin meningkat baik kualitas maupun
kuantitasnya. Salah satu permasalahan kontemporer yang menjadi masalah dunia
dan memerlukan penanganan serius adalah masalah HIV/AIDS. Selain HIV/AIDS,
persoalan lain yang dihadapi kalangan masyarakat adalah keterbatasan sumber
daya pembiayaan bagi kegiatannya, kemerosotan karakter, pergaulan bebas,
narkoba, pemerkosaan, eksploitasi pekerja anak, kerusuhan sosial, pembunuhan,
menurunnya solidaritas sosial, dan masalah lainnya.[1] Dalam
kurun waktu lima belas tahun, epidemi Human Immunodeficiency virus (HIV)
memasuki kesadaran kita sebagai suatu bencana yang tidak dapa dipahami, sudah
menelan beribu-ribu korban, menimbulkan banyak kesedihan dan kepeedihan yang
sangat mendalam, menimbulkan ketidakpastian serta kekhwatiran dan ketakutan,
serta kehancuran ekonomi yang mengancam.[2]
AIDS
merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu suatu
kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh virus kekebalan tubuh manusia. Virus
tersebut dinamakan HIV (Human Immunodeficiency virus). Sistem kekebalan tubuh biasanya melindungi
tubuh terhadap serangan dari penyakit-penyakit yang akan masuk, tetapi bila
tubuh telah terinfeksi oleh HIV secara otomatis kekebalan tubuh akan berkurang
dan menurun sampai suatu saat tubuh tidak lagi mempunyai daya tahan terhadap
penyakit, bila itu terjadi, penyakit yang biasanya tidak berbahayapun akan
dapat membuat orang tersebut menderita atau bahkan meninggal.[3]
Sampai
saat ini belum ditemukan obat atau vaksin untuk menyembuhkan AIDS. Orang yang
telah terifeksi HIV dapat menularkan virus tersebut kepada orang lain selama
hidupnya, walaupun tidak merasa sakit dan tampak sehat. HIV terutama banyak
terdapat di dalam darah, sperma dan cairan vagina. Kepala secretariat
penanggulangan ADIS Nasional dr. Suharto SpkO, DPh, mengungkapakan bahwa hamper
di semua Negara angka HIV/AIDS mengalami peningkatan. Karena sifat epidemic penyakit
ini, pada orang terkena tidak ada tandanya, tidak kelihatan sakit bahkan
kelihatan normal. Jadi seperti fenomena gunung es, jumlah yang kelihatan hanya
sedikit dari jumlah yang sebenarnya. Selain itu, kemampuan untuk mendeteksi
kasus HIV/AIDS selama ini masih sangat terbatas.[4]
Namun hingga saat ini pemerintah dan berbagai lembaga yang
dinaunginya mulai menyusun berbagai strategi guna untuk melakukan penekanan
terhadap perkembangan virus tersebut. Berbagai langkah kebijakan telah diambil,
namun pemerintah masih membutuhkan partsipasi dari masyarakat, tokoh agama, dan
LSM. Sehingga dapat mempermudah proses kampanye, sosialisa, dan berbagai
kegiatan yang dapat menekan penularan terkait sengan virus HIV/AIDS.
Untuk menunjang penekanan terhadap perkembangan
HIV/AIDS diperlukan seorang figur dalam hal ini adalah pekerja sosial. Untuk
menjamin profesionalitas seorang pekerja sosial dituntut agar mampu
mengimplementasikan nilai-nila yang ada. Hal ini bertujuan untuk menjunjung
tinggi etika dalam penanganan serta menerapkan aspek moralitas yang tinggi.
Deskripsi Masalah (Prevalensi Perkembangan HIV/AIDS Serta Data Skala
Nasional dan Internasional)
Setelah kasus pertama HI0/AIDS ditemukan pada
tahun 1981, dewasa ini telah merupakan pandemi, menyerang jutaan penduduk di
setiap negara di dunia dan menyerang pria, wanita serta anak-anak. WHO
memperkirakan bahwa sekitar 10-12 juta orang dewasa dan anak-anak di dunia
telah terinfeksi dan setiap hari sebanyak 5000 orang tertular virus HIV.
Menurut estimasi, pada tahun 2000 sekarang sekitar 10 juta penduduk akan hidup
dengan AIDS, 8 juta diantaranya akan mati. Pada saat itu laju infeksi pada
wanita akan jauh lebih cepat dari pada pria. Dari seluruh infeksi HIV 90% akan
terjadi di negara berkembang terutama di Asia, negara yang paling parah terkena
antara lain: Thailand diperkirakan antara 500 ribu dan 800 ribu penduduknya
telah terinfeksi, India sudah mencapai rata-rata antara 2-5 juta, di Bombay
sudah 50% pekerja seks dan 22,5% perempuan hamil sudah terinfeksi virus HIV.
AIDS di Indonesia ditangani oleh Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) dan memiliki Strategi Penanggulangan AIDS
Nasional untuk wilayah Indonesia. Ada 79 daerah
prioritas di mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau
delapan provinsi: Papua, Papua Barat, Sumatera
Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Sekitar 170.000 sampai
210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS. Perkiraan
prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh negeri, dengan pengecualian
Provinsi Papua, di mana angka epidemik diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan
utamanya adalah melalui hubungan seksual tanpa menggunakan pelindung.[5]
Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500
jiwa. Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat
terlarang melalui jarum suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung
dalam kegiatan prostitusi dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan
hubungan seksual dengan sesama pria. Sejak 30 Juni 2007, 42% dari kasus AIDS yang dilaporkan ditularkan melalui hubungan heteroseksual dan 53% melalui
penggunaan obat terlarang.[6] Jadi
dapat disimpulkan bahwa secara kumulatif HIV & AIDS 1 April 1987 s.d. 30
Juni 2014, adalah: Jumlah HIV 142.950 dan AIDS 55.623.[7] lebih
detailnya dapat dilihat pada table berikut.
Jumlah Kasus Baru HIV
& AIDS dan Kematian
Berdasarkan Tahun
Pelaporan
Prevalensi Kasus AIDS per 100.000 Penduduk
Berdasarkan Propinsi
No.
|
Propinsi/Province
|
Prevalensi
|
||
1
|
Papua
|
359.43
|
||
2
|
Papua Barat/West Papua
|
228.03
|
||
3
|
Bali
|
109.52
|
||
4
|
DKI Jakarta
|
77.82
|
||
5
|
Kalimantan Barat/West Kalimantan
|
38.65
|
||
6
|
Sulawesi Utara/North Sulawesi
|
35.14
|
||
7
|
Maluku/Moluccas
|
33.39
|
||
8
|
DI Yogyakarta/Jogjakarta
|
26.49
|
||
9
|
Bangka Belitung
|
25.67
|
||
10
|
Jawa Timur/East Java
|
23.95
|
||
11
|
Kepulauan Riau/Riau Archipelago
|
22.75
|
||
12
|
Sulawesi Selatan/South Sulawesi
|
21.20
|
||
13
|
Riau
|
19.93
|
||
14
|
Sumatera Barat/West Sumatra
|
19.64
|
||
15
|
Maluku Utara/North Moluccas
|
15.89
|
||
16
|
Jambi
|
14.13
|
||
17
|
Sumatera Utara/North Sumatra
|
12.12
|
||
18
|
Sulawesi Tenggara/SE Sulawesi
|
11.91
|
||
19
|
Jawa Tengah/Central Java
|
11.63
|
||
20
|
Nusatenggara Timur/East Nusa Tenggara
|
10.59
|
||
21
|
Nusatenggara Barat/West Nusa Tenggara
|
10.13
|
||
22
|
Kalimantan Selatan/South Kalimantan
|
10.04
|
||
23
|
Banten
|
9.80
|
||
24
|
Jawa Barat/West Java
|
9.66
|
||
25
|
Kalimantan Timur/East Kalimantan
|
9.34
|
||
26
|
Bengkulu
|
9.33
|
||
27
|
Sulawesi Tengah/Central Sulawesi
|
7.21
|
||
28
|
Gorontalo
|
6.54
|
||
29
|
Lampung
|
5.56
|
||
30
|
Sumatera Selatan/South Sumatra
|
5.49
|
||
31
|
Kalimantan Tengah/Central Kalimantan
|
4.84
|
||
32
|
NAD/Aceh
|
4.29
|
||
33
|
Sulawesi Barat/West Sulawesi
|
0.52
|
||
Nasional
|
23.41
|
|||
Permasalahan HIV/AIDS semakin
menunjukkan kecendrungan meningkat, sehingga perlu tindakan untuk
mengantisipasi peningkatan permasalahan HIV/AIDS. Banyak penyebab dari
tertularnya seorang oleh HIV/AIDS antara lain:
1.
Mereka yang
mempunyai banyak pasangan seksual, baik homo maupun hetero.
2.
Penerima
transfusi darah.
3.
Bayi yang
dilahirkan dari ibu yang positif HIV.
4.
Pecandu
narkotika secara suntikan.
5.
Pasangan dari
pengidap AIDS atau yang positif HIV.
6.
Prilaku seks
beresiko tinggi dan makin maraknya industry seks.
7.
Kurangnya
informasi tentang penularan HIV/AIDS dan masalah budaya.[8]
Faktor
lain yang menyebabkan terus meningkat kasus AIDS di Indonesia adalah kurangnya
informasi tentang penularan HIV/AIDS dan dan masalah budaya. Kultur kita masih
belum terbuka untuk membicarakan masalah yang sensitive. Seks masih dianggap
tabu untuk dibicarakan. Di satu sisi kita tidak bias mengubah masyarakat,
masyarakat punya kultur sendiri, punya cara dan budaya unik.[9]
Faktor
budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini dimana banyak ibu
rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS dari suaminya yang
sering melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya. Hal ini disebabkan
oleh budaya permisif yang sangat berat dan perempuan tidak berdaya serta tidak
mempunyai bargaining position (posisi
rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar perempuan tidak memiliki
pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan
yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah HIV /AIDS Selama
ini adalah melaksanakan bimbingan sosial pencegahan HIV /AIDS, pemberian
konseling dan pelayanan sosial bagi penderita HIV /AIDS yang tidak mampu.
Selain itu adanya pemberian pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif
agar kematian dapat dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita
HIV /AIDS dapat berperan sosial dengan baik dalam kehidupanya.[10]
Eksplorasi
Nilai dan Etika Pekerja Sosial dalam Pemecahan Masalah HIV/AIDS: Suatu
Pendekatan
Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu ethos
dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa.
Ethikos artinya susila, keadaban, kelakuan atau perlakuan yang baik. Dalam
sejarah filsafat Barat, etika adalah cabang filsafat yang sangat berpengaruh
sejak zaman Sokrates (470-399 SM). Etika membahas baik-buruk tingkah
laku/tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.
Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi
bagaimana manusia berbuat dan bertindak.[11]
Etika
sering disebut sebagai filsafat moral. Etika adalah kajian filsafat yang
terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Dalam sistematika
filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang
berbicara tentang nilai.[12]
Haidar
Bagir[13]
mensinyalir bahwa pada umunya pandangan-pandangan mengenai etika yang
berkembang dibelahan dunia ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a.
Etika hedonistik,
hedonisme mengarahkan etika keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya
kesenangan bagi manusia.
b.
Etika utilitaristik,
etika ini sedikit mengoreksi etika hedonistic bahwa kesenangan atau kebahagiaan
yang dihasilkan oleh suatu etika yang baik adalah kebahagiaan sebanyak mungkin
orang, dan bukan kesenangan untuk individual-yang disisi lain mungkin justru
menimpakan kesengsaraan bagi jauh lebih banyak orang.
c.
Etika
deontologis, memandang bahwa sumber dari kekuatan etis adalah kewajiban.
Sedangkan nilai adalah seperti yang Pincus dan Minahan menyatakan dalam
Isbandi Rukminto nilai adalah keyakinan, preferensi ataupun asumsi mengenai apa
yang diinginkan atau dianggap baik oleh manusia. Nilai yang dianut oleh
seseorang dapat menentukan sikap dan tindakan seseorang dalam berinteraksi
dengan orang lain.[14]
Berbeda dengan pernyataan pengetahuan yang diuji benar salahnya melalui
proses kajian terhadap dunia empirik, maka benar dan salah dari suatu nilai
muncul berdasarkan suatu kajian. Picus dan Minahan dalam Zastrow melihat nilai
bukan sebagai sesuatu yang kita lihat dari dunia kita berdasarkan apa yang kita
ketahui, akan tetapi nilai lebih terkait dengan apa yang seharusnya terjadi.
Misalnya, “keyakinan bahwa suatu masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk
membantu individu mengembangkan potensi
diri mereka (setiap individu)”. Maka pernyataan tersebut lebih berupa pernyataan
tentang nilai, dan bukan pernyataan tentang pengetahuan. Pernyataan tersebut
bukanlah pernyataan tentang apa yang kita ketahui sudah beraku di masyarakat
kita, akan tetapi, pernyataan tersebut adalah sesuatu preferensi tentang sesuatu yang seharusnya terjadi.
Sehingga dasar pembuktiaanya benar atau salahnya, menurut Pincus dan Minhan,
bukan pada hasil kajian ilmiah yang empiric. Akan tetapi benar atau salahnya
pernyataan tersebut, di dasarkan pada keyakinan yang ada di masyarakat atau
muncu berdasarkan kode etik yang akan digunakan sebagai standarbertindak suatu
profesi.[15] Dengan adanya nilai di
atas maka dapat diterapkan berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah HIV /
AIDS.
Berbagai macam pendekatan dapat dilakukan untuk
mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di saat ini. Pendekatan-pendekatan
di bawah ini dapat mempengaruhi nilai-nilai di dalam melakukan intervensi
seorang pekerja sosial. Berikut adalah pendekatan untuk permasalahan HIV-AIDS
di Indonesia. Secara umum, berbagai pendekatan tersebut diantaranya:
1.
Pendekatan Agama
Pendekatan ini bersifat
individual dalam arti sangat berhubungan dengan keyakinan masing-masing orang
terhadap ajaran agamanya. Semakin orang yakin akan ajaran agamanya, semakin
pendekatan ini efektif kegunaannya. Melalui pendekatan agama diajarkan bahwa masalah
sosial timbul bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma agamanya.
Pelanggaran terhadap norma
agama akan mendapat sanksi yang kadang sifatnya sangat abstrak dan sangat
tergantung kepada keyakinan para penganutnya (keyakinan tentang adanya sorga bagi
yang berbuat baik dan neraka bagi orang “jahat”. Pendekatan ini lebih terasa
keefektifannya dalam kerangka preventif dengan cara penanaman nilai-nilai agama
sejak dini dari tiap keluarga dalam masyarakat.
Internalisasi nilai-nilai agama pada tiap individu anggota masyarakat diharapkan ia bisa
menjadi benteng ataupun juga filter dalam menyaring pengaruh negatif dari
sekelilingnya atau dengan kata lain dapat mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai dan norma agama yang pada gilirannya
mencegah terhadap terjadinya masalah-masalah sosial.
2.
Pendekatan Hukum
Antara pendekatan hukum
dan pendekatan agama ada kesamaan segi historis, dalam arti pendekatan hukum
dalam memandang fenomena masalah sosial bisa bersumber pada pendekatan agama. Hanya
pada pendekatan hukum biasanya ia berlaku bagi semua anggota masyarakat dimana
ia bertempat tinggal dan hukum tersebut diberlakukan.
Pendekatan ini bisa
besifat preventif dalam arti masalah sosial dapat dicegah melalui upaya
sosialisasi norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat maupun bersifat
kuratif atau rehabilitatif dalam arti terhadap pelaku pelanggar norma hukum
akan diberikan sanksi tertentu dan diadakan pembinaan agar dia tidak lagi
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma hukum. Mereka yang berperan
dalam pendekatan ini antara lain adalah para penegak hukum maupun aparat
pemerintah yang berwajib.
3.
Pendekatan Jurnalistik
Dengan pendekatan
jurnalistik dimaksudkan sebagai usaha penyebarluasan informasi yang berkaitan
dengan masalah sosial melalui tulisan-tulisan di media cetak. Melalui
pendekatan ini masalah sosial diusahakan untuk dikenalkan pada masyarakat baik
dalam arti masalah sosial itu sendiri maupun sebab-akibat serta cara-cara
menghadapinya. Sampai saat ini majalah,
surat kabar masih menjadi sarana yang berharga dalam membangkitkan kesadran masyarakat
akan bahaya narkoba, prostitusi, HIV/AIDS dan masalah-masalah sosial lain.
4.
Pendekatan Ekologi
Yaitu suatu metode
pendekatan yang yang didasarkan atas konsep dan prinsip ekologi ,dalam arti
menelaah masalah sosial sebagai hasil interrelasi antara masyarakat manusia
dengan lingkungannya pada suatu ekosistem. pada pendekatan ini kita tidak
memisahkan komponen masyarakat manusia dari komponen lingkungannya.
Melalui pendekatan ekologi,
pertumbuhan masyarakat manusia di tempat-tempat tertentu, baik di perkotaan
maupun di pedesaan dengan segala aspeknya dipelajari dan dikaji pengaruhnya
tehadap lingkungan setempat. Diteliti pengaruhnya tadi apakah tetap seimbang
ataukah menimbulkan ketimpangan, sampai sejauh mana ketimpangan tadi
menyebabkan terjadinya masalah sosial bagi masyarakat setempat.
Melalui pendekatan ekologi
dikaji kemampuan daya tampung lingkungan alam tehadap kehidupan masyarakat
manusia di tempat tertentu. Sedangkan daya tampung lingkungan yaitu suatu
ukuran tertentu yang menunjukkan jumlah individu yang dapat ditunjang oleh
lingkungan tersebut. Manusia merupakan bagian
dari alam, bukan penguasa alam oleh karena itu perbuatan manusia yang
serampangan tidak terencana yang menimbulkan ketimpangan lingkungan akhirnya
merugikan dan mengancam kehidupan ,manusia itu sendiri. Sejak tahun
1960an hingga saat ini, perspektif ekosistem telah menjadi pendekatan yang
paling berpengaruh dalam sejarah dan perkembangan pekerjaan sosial di dunia.[16]
Model
Penanganan Kasus oleh Pekerja Sosial dalam Memecahkan Masalah HIV/AIDS
Ketika menyinggung masalah peran pekerja sosial
maka yang menjadi tantangan kedepan seorang pekerja
sosial adalah mengembangkan
sebuah program intervensi yang secara sinergis dapat memadukan pendekatan
praktis dan pragmatis dalam sebuah kerangka intervensi yang komprehensif dan
berkelanjutan.
Model serta peran pekerja sosial dalam
penanganan dan memecahkan masalah HIV/AIDS dengan melakukan pendekatan bersama pemerintah secara pragmatis dan praktis tadi
terdapat juga pendekatan lain yang memang secara khusus lebih sering dilakukan
untuk memecahkan masalah sosial, dalam hal ini HIV-AIDS melalui pendekatan
manajemen kasus, seorang pekerja sosial memiliki peranan yang
besar dalam hal ini. Peranan adalah
sekumpulan kegiatan altruistis yang dilakukan guna tercapainya tujuan yang
telah ditentukan bersama antara penyedia dan penerima pelayanan. peranan
merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang untuk menggunakan kemampuannya dalam
situasi tertentu.[17]
Menyinggung mengenai peran pekerja sosial maka
tidak akan terlepas dengan model Manajemen kasus (Case
mangement) adalah salah satu pendekatan yang dilakukan oleh pekerja sosial. Manajemen kasus merupakan pelayanan terpadu dan
berkesinambungan yang diberikan kepada ODHA untuk dapat menghadapi permasalahan
dalam hidupnya. Masalah kesinambungan
Manajemen Kasus HIV baru bisa diatasi jika Manager kasus HIV menjadi pegawai
fasilitas layanan kesehatan yang juga menerima gaji.[18] Jadi manajemen
kasus adalah jasa atau layanan yang mengaitkan dan mengkoordinasi bantuan dari
berbagai lembaga dan badan penyedia dukungan medis, psikososial, dan praktis
bagi orang-orang yang membutuhkan bantuan itu.
Manajemen kasus adalah salah satu metode
pelayanan yang biasa dipergunakan untuk mambantu ODHA. Pelayanan manajemen
kasus menggunakan pendekatan pada individu secara holistik dan terpadu yang
mengkoordinasikan sistem – sistem sumber yang ada di lingkungannya ( lembaga
pemerintah atau non pemerintah, keluarga dan sebagainya untuk memenuhi
kebutuhan dan pemecahan masalahnya. Manajemen Kasus adalah pelayanan yang
mengkaitkan dan mengkoordinasi bantuan dari berbagai lembaga dan badan penyedia
pendekatan dan dukungan medis, psikososial, dan praktis bagi individu-individu
yang membutuhkan bantuan itu. Pendekatan itu mempunyai tiga sisi utama yaitu Bio,
Psiko dan Sosial. Manajemen kasus ini berkonsentrasi pada upaya
meningkatkan kondisi kesehatan pasien berdasarkan intervensi keperawatan yang
spesifik, dalam kegiatannya manajemen kasus dilakukan oleh manajer kasus (
DEPSOS, 2008)
Manajemen kasus HIV-AIDS merupakan pelayanan
yang berkesinambungan yang melibatkan atau bekerjasama dengan dengan sekto
lain, diantaranya dokter, perawat, psikolog, LSM, pejabat pemerintahan,
keluarga dan masyarakat.(Nasronudin, 2007)
Manajemen kasus telah menjadi sarana yang
efektif untuk membantu ODHA sejak 1980-an. Dengan meningkatnya tahun, maka
pelayanan manajemen kasus berkembang lebih baik. Pada tahun-tahun awal epidemik
HIV telah dikembangkan sejumlah program manajemen kasus di pusat – pusat
penanganan wabah HIV di daerah perkotaan untuk memenuhi makin banyaknya
kebutuhan medis dan psikososial ODHA. Selain dari beberapa
pernyataan di atas maka ada beberapa peran pekerja sosial dalam manajemen kasus
selaku menejer, diantaranya:
1.
Pekerja Sosial sebagai
manager kasus, bertujuan untuk mencapai kesinambungan pemberian
pelayanan keluraga dan invidu melalui proses penghubungan antara klien dan
pelayanan yang diinginkan dan pengkoordinaran pemanfaatan pelayanan tersebut.
Peran pekerja sosial sebagai manager kasus mempunyai arti penting bagi klien yang
menggunakan pelayanan yang disajikan oleh agen-agen pelayanan. Sebagai manager
kasus, pekerja sosial mempunyai cakupan yang luas dalam aktvitasnya.
Pekerjaannya dimulai dengan mengidentifikasikan jenis bantuan yang diperlukan,
melakukan penyelidikan terhadap faktor yang menjadi penghalang dalam mengatasi
masalah, mendukung klien untuk mencoba mengeksplorasikan semua potensinya,
memberikan kesempatan kepada klien untuk memperoleh pelayanan langsung. Rumusan
suatu kasus mungkin merupakan perencanaan pelayanan yang menunjukkan
kebutuhan-kebutuan yang diperlukan klien.
2.
Pekerja Sosial Sebagai
seorang professional, bertujuan untuk mulai bekerja dengan kode etik pekerja
sosial dan praktek-prakteknya yang kompetensi sangat berperan dalam
pengembangan profesi pekerjaan sosial. Pada dasarnya tindakan seorang
profesional adalah penuh etika dan bertanggung jawab serta bijaksana. Pekerja
sosial harus secara konsisten mengembangkan ketrampilan dan pengetahuannya
untuk meningkatkan mutu pelayanannya.
3.
Bertanggungjawab atas terjaminnya kerahasiaan
informasi yang terkait dengan anak dan keluarganya, selama maupun setelah
proses layanan manajemen kasus.
4.
Dapat membuka atau memberikan informasi kepada pihak lain yang berkepentingan dengan penyelenggaraan layanan atas
sepengetahuan dan setelah mendapatkan persetujuan dari ODHA atau orang tua atau walinya yang sah.[19]
Untuk lebih spesifiknya tahapan manajemen kasus, menurut DEPSOS proses
manajemen kasus HIV dan AIDS dibagi dalam lima tahapan:
1. Penerimaan Awal
Proses manajemen kasus HIV dimulai dengan wawancara awal dan dalam
banyak situasi dikombinasikan dengan penerimaan. Tujuan utama wawancara awal
adalah membangun hubungan yang menyenangkan yang memfasilitasi pengembangan
hubungan kerja kolaboratif dan membangun citra pekerja sosial sebagai
penghubung yang aman. Dalam pertemuan pertama ini, peran sebagai penyuluh
krisis mungkin akan penting karena memasuki suatu sistem penyampaian pelayanan
seringkali terdorong oleh adanya krisis yang memerlukan intervensi segera.
Informasi tentang cakupan pelayanan yang tersedia juga dipadukan dalam
wawancara awal.
Selama penerimaan itu, dilakukan penilaian awal kebutuhan klien
dengan tujuan menjembatani kesenjangan antara kebutuhan pelayanan dan sumber
daya sistem. Dalam tahap ini dilakukan tinjauan hak – hak dan kewajiban klien
serta prosedur mengajukan keluhan bila terjadi pelayanan yang tidak sesuai dan
diperoleh persetujuan klien untuk mendaftarkannya dalam sistem penyediaan
pelayanan.
2.
Pengkajian
Proses pengumpulan informasi yang mencakup wawancara tatap muka
serta pengumpulan data sekunder dari petugas pelayanan kesehatan dan pelayanan
masyarakat. Ini adalah proses kerjasama dan interaktif dimana klien dan manajer
kasus mengumpulkan, menganalisis dan memprioritaskan informasi yang
mengidentifikasi kebutuhan dan sumberdaya, potensi klien untuk menyusun rencana
menangani kebutuhan yang diidentifikasi.
3.
Perencanaan
Rencana pelayanan sangat penting dalam upaya manajemen kasus dan
rencana ini disusun berdasarkan informasi yang dihimpun dalam tahap penilaian.
Manajer kasus dan klien bekerja sama untuk menyusun daftar masalah dan isu
serta untuk merumuskan sasaran jangka panjang dan jangka pendek yang mendukung
tujuan menyeluruh pemeliharaan kesehatan dan kemandirian. Diperlukan
perencanaan spesifik, yang berpedoman pada sasaran realistik, untuk
memprioritaskan kegiatan dan mengidentifikasi cara perolehan, pemantauan, dan
pengkoordinasian pelayanan di kalangan lembaga penyedia pelayanan dan sistem
perawatan kesehatan.
Perlu diidentifikasi dengan jelas tanggung jawab semua pihak dan
batas waktu realistik untuk mencapai sasaran melalui kegiatan yang relevan.
Jika pilihan pelayanan tidak tersedia untuk memenuhi kebutuhan, manajer kasus
mungkin perlu mempertimbangkan pilihan antara upaya membantu pencarian pilihan
dan mendesain solusi antara.
Hal
ini lebih mungkin terjadi jika nilai – nilai budaya atau praktik klien tidak
sejalan dengan program yang ada, jika klien didiagnosis mengidap lebih dari
satu penyakit seperti HIV, penyalahgunaan obat -obatan, dan kelainan mental.
Atau jika klien bertempat tinggal di daerah pedesaan yang sedikit tersedia
pelayanan yang khusus menangani HIV.
4.
Pelayanan
Pengkaitan dan Rujukan
Dalam tahap implementasi, Pekerja Sosial dan klien berupaya
melaksanakan rencana pelayanan. Jika persetujuan untuk merujuk telah diperoleh,
manajer kasus dapat memainkan beberapa peran untuk memfasilitasi klien menerima
pelayanan, termasuk sebagai perantara, pemantau, pendukung, dan pembimbing.
Sebagai perantara, manajer kasus menghubungi penyedia pelayanan lainnya untuk
memudahkan perujukan klien dan mungkin juga mengatur pelayanan tambahan seperti
pengantaran klien ke tempat rujukan pada waktu yang ditentukan. Setelah klien
dirujuk ke tempat pelayanan, manajer kasus tetap berhubungan dengan klien
secara teratur untuk memastikan bahwa klien telah menerima pelayanan dan hal
itu dilakukan dengan cara yang tepat. Adakalanya manajer kasus mungkin perlu
mengatasnamakan klien, untuk memastikan penerimaan pelayanan yang diperlukan. Sebagai
pembimbing, manajer kasus mendorong klien untuk mengantisipasi hambatan dalam
mengakses dan menggunakan pelayanan dan, jika perlu, bekerja sama dengan klien
untuk menanggulangi hal itu.
Rencana pelayanan biasanya dilaksanakan mendokumentasi kemajuan
klien secara seksama, termasuk tanggal hubungan, informasi tentang siapa yang
pertama kali menghubungi dan tindakan apapun yang dilakukan sebagai tindak
lanjut dari hubungan itu. Hambatan pelaksanaan rencana juga harus dicatat,
termasuk kepuasan klien dalam pelaksanaan rencana, perubahan yang terjadi dalam
pelaksanaannya, dan kemajuan yang diraih dalam upaya mencapai tujuan dan
sasaran. Dalam kaitan ini yang sering membantu dalam menanggulangi kesulitan
implementasi adalah supervisi pekerjaan sosial profesional, dukungan rekan
sejawat, dan konferensi kasus antar dan intra lembaga.
5.
Monitoring dan
Evaluasi
Upaya untuk memastikan mutu program manajemen kasus, termasuk
evaluasi hasil, semakin penting. Bukan hanya karena penyandang dana menghendaki
informasi lebih banyak tentang efektivitas program manajemen kasus dalam
memenuhi kebutuhan klien, tetapi juga karena bidang manajemen kasus HIV - AIDS
berubah dengan cepat, sehingga staf dan administrator harus dapat menggunakan
waktu yang tersedia secara efektif.
Kegiatan evaluasi dapat mencakup penilaian kepuasan klien terhadap
pelayanan yang disediakan, penentuan apakah populasi yang terjangkit dalam
wilayah tertentu mengetahui ketersediaan pelayanan, dan pelaksanaan survey
penyedia pelayanan dalam hubungannya dengan kepuasan mereka dengan pelayanan
manajemen kasus.
Selain metode evaluasi tradisional itu, sebagian program mengkaji
evaluasi berdasarkan hasil. Contoh evaluasi hasil dapat mencakup apakah
manajemen kasus membantu klien untuk mentaati perawatan atau apakah manajemen
kasus meningkatkan kadar aksesibilitas perawatan. Penting diperhatikan bahwa
proses peningkatan mutu berlangsung pada tataran mikro dan makro kondisi
pelayanan, upaya memenuhi kebutuhan klien, serta masyarakat yang terpengaruh.
Segala kegiatan yang bersangkutan diatas meruapak tanggung jawab penuh bagi
seorang pekerja sosial professional.
Dalam menjalankan
profesinya seorang pekerja sosial selain dilandasi oleh perananan dan nilai
maka pekerja sosial juga wajib menjunjung tinggi Kode Etik Profesi, maka untuk
menghadapi masalah berupa HIV-AIDS sendiri diterapkan kode etik antara lain:
1. Pekerja sosial mengutamakan tanggung jawab melayani kesejahteraan individu
atau kelompok, yang meliputi kegiatan perbaikan kondisi-kondisi sosial.
2.
Pekerja sosial
mendahulukan tanggungjawab profesinya ketimbang kepentingan-kepentingan
pribadinya.
3.
Pekerjaan sosial tidak
membedakan latar belakang keturunan, warna kulit, agama, umur, jenis kelamin,
warganegara serta memberikan pelayanan dalam tugas-tugas serta dalam
praktek-praktek kerja.
4.
Pekerjaan sosial
melaksanakan tanggung jawab demi mutu dan keluasan pelayanan yang diberikan.
5.
Menghargai dan
mempermudah partisipasi ODHA.
6.
Mengahrgai martabat dan
harga diri ODHA.
7.
Menerima ODHA apa
adanya.
8.
Menerima dan memahami
bahwa setiap orang itu adalah unik.
9.
Tidak menghakimi sikap
ODHA.
10.
Memahami apa yang
dirasakan orang lain/empati.
11.
Menjaga kerahasian
ODHA.
12.
Tidak menghadiahi ODHA
dan tidak pula menghakimi
13.
Pekerja sosial harus
sadar akan keterbatan-keterbatasan yang dimilikinya
Sebagai seorang pekerja sosial yang perlu
diperhatikan adalah etika profesi, pada umumnya ada beberapa prinsip etika
profesi:
1.
Sikap bertanggung jawab, dalam hal ini dibagi
menjadi dua:
a.
Dalam hal ini kita mesti bertanggung jawab
terhadap pekerjaan yang kita lakukan dan terhadap hasilnya. Kita harus
mengusahakan agar kita sendiri menguasai tugas dengan sebaik-baiknya, agar kita
berkompeten.
b.
Kita harus bertanggung jawab terhadap dampak
pekerjaan kita pada kehidupan orang lain.[20]
2.
Hormat terhadap orang lain, Prinsip ini tak
lain adalah tuntutan keadilan, keadilan menuntut agar kita memberikan kepada
siapa saja apa yang menjadi haknya.
3.
Mendahulukan kepentingan klien, atas
kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok.[21]
Seorang pekerja sosial
bertugas melaksanakan program pembangunan di bidang kesejahteraan sosial dalam
bentuk kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian,
evaluasi dan pelaporan kegiatan pelayanan sosial. Pekerja sosial
juga memiliki kewajiban-kewajiban tertentu terhadap klien. Kewajiban yang
dimaksud disini adalah etika sebagai deontologi. Dalam hal ini terhadap ODHA,
diantaranya menghargai kepentingan klien, pekerja sosial professional harus
mengakui, menghargai dan berusaha sebaik mungkin melindungi kepentingan klien
dalam konteks pelayanan. Secara umum kewajiban pekerja sosial profesional
terhadap klien dalam penyediaan pelayanan antara lain:
1.
Memberi pelayanan sesuai dengan kompetensi
profesionalnya
2.
Memberi informasi yang akurat dan lengkap
tentang keluasan lingkup, jenis dan sifat pelayanan
3.
Memberitahukan hak, kewajiban,
kesempatan-kesempatan dan risiko yang melekat pada dan atau timbul dari
hubungan pelayanan yang diberikan
4.
Meminta saran, nasehat, dan bimbingan dari
rekan sejawat dan penyelia manakala diperlukan demi kepentingan klien
5.
Segera menarik diri dari konteks pelayanan
manakala lingkungan dan suasana yang ada tidak lagi memungkinkan bagi pemberian
pertimbangan yang seksama, penyampaian pelayanan yang sebaik-baiknya, dan
pengurangan atau pencegahan dampak negatif yang mungkin muncul atau terjadi
6.
Memberitahu klien tentang pengakhiran konteks
pelayanan baik yang dilakukan melalui pengalihan, perujukan atau pemutusan.
7.
Larangan penyalahgunaan konteks pelayanan oleh
pekerja sosial profesional antara lain:
8.
Menggunakan hubungannya dengan klien sebagai
alasan untuk dan demi mendapatkan keuntungan pribadinya
9.
Melakukan, menyetujui, membantu, bekerjasama
atau ikut serta denganØ konteks pelayanan yang diskriminatif atas
dasar ras, golongan, warna kulit, kelamin, orientasi seksual, usia, agama,
kebangsaan, status perkawinan, keyakinan politik, perbedaan kapasitas mental
atau fisik
10. Memberikan atau
melibatkan diri dalam hubungan dan komitmen yang bertentangan dengan
kepentingan klien.
11. Melakukan
kegiatan seksual dengan klien
12. Pekerja sosial
profesional wajib mengakui, menghargai, berupaya mewujudkan dan melindungi hak
- hak klien. Pekerja sosial profesional menghargai hak-hak Klien dengan antara
lain:
1.
Mengakui, menghargai dan memastikan
sebaik-baiknya pewujudan atas dan perlindungan terhadap hak-hak klien, antara
lain, atas hidup dan kehidupan, kemerdekaan, kebebasan berpendapat dan
kesetaraan dimata hukum
Mengakui, menghargai, dan mewujudkan hak-hak klien dalam menentukan nasibnya sendiri.
Mengakui, menghargai, dan mewujudkan hak-hak klien dalam menentukan nasibnya sendiri.
2.
Menghormati dan menjaga kerahasiaan klien dalam
konteks pelayanan
tidak membiarkan, ikut serta, atau melakukan kegiatan yang melanggar hak-hak klien
tidak membiarkan, ikut serta, atau melakukan kegiatan yang melanggar hak-hak klien
Hak asasi adalah pemahaman bahwa setiap orang terlahirkan
bebas dan setara dalam martabat dan haknya. Hak klien untuk menentukan nasib
sendiri. Dalam menjalankan pekerjaannya, pekerja sosial profesional harus
selalu melindungi kepentingan-kepentingan dan hak-hak pribadi klien. Bila
pekerja sosial profesional melimpahkan/memberikan wewenang kepada orang lain
untuk bertindak demi kepentingan klien, maka dia harus menjaga agar pelayanan
itu tetap sesuai dengan kepentingan klien. Pekerja sosial profesional tidak
ikut campur dalam tindakan yang melanggar atau mengurangi hak-hak sipil atau
hak resmi klien.
Memberitahu klien tentang hak-hak mereka
terhadap kerahasiaan dalam konteks pelayanan juga termasuk bila melibatkan
orang ketiga kedalam aktifitas mereka. Memberitahukan klien tentang batas-batas
dan keperluan kerahasiaan informasi dalam konteks pelayanan. Memperlihatkan
(memberitahukan) catatan informasi atas permintaan klien dan dan sejauh itu
menyangkut klien yang bersangkutan, dan tidak membiarkan rahasia orang lain
terbuka kepada klien tersebut. Tidak membuka rahasia klien kepada orang lain
kecuali atas perintah ketentuan hukum. Tidak membuka rahasia klien kepada orang
lain walaupun pertimbangan-pertimbangan profesional mengharuskannya kalau tidak
mendapatkan persetujuan yang jelas dari klien bersangkutan.
Dalam dokumen internasional tentang hak asasi
manusia, ada tiga landasan bagi kategori hak asasi yang merupakan ukuran untuk
mengendalikan ancaman yang mungkin ditimbulkan AIDS: hak privasi personal dan
kerahasiaan menyangkut informasi seksual dan medis, hak melakukan gerakan yang
bebas dalam wilayah Negara seseorang dan berteman dimanapun sebagaimana ia
pilih, hak meningkatkan keadaan ekonomi seseorang tanpa pembatasan yang
berdasarkan latar belakang yang tidak relevan.[22]
Kerahasiaan,
salah satu di antara hak asasi manusia yang mempunyai kaitan tradisional dengan
etika kedokteran, adalah hak privasi. Meskipun privasi mempunyai banyak
dimensi, aspek pengendalian personal atas informasi pribadi, mungkin merupakan
pusat perhatian terbesar terhadap mereka yang berisiko AIDS. Pelanggaran
kerahasiaan informasi pribadi tidak hanya melampaui ranah intim, hal-hal
tersebut akan mengarah kepada penolakan pekerjaan, asuransi dan perumahan.[23]
Kesimpulan
Eksplorasi nilai dan etika di dalam sebuah
profesi tentu menjadi prinsip yang sangat fundamental di dalam melakukan segala
tindakan yang ditujukan kepada klien maka. Dalam praktek
pekerjaan sosial di bidang HIV-AIDS seorang pekerja sosial
dapat melaksanakan tugas dan peranannya, bagaimana menangani seorang klien yang
berstatus HIV positif, memberikan solusi dan mendekatkan pada sistem sumber
yang ada sehingga tidak terbelennggu dalam menghadapi penyakitnya dan
termotivasi kembali dalam menjalani hidupnya.
Untuk menunjang keberhasilan seorang pekerja sosial
dalam menangani kklien tentunya harus didasari dengan nilai-nilai yang berlaku
dalam sebuah profesi, namun dengan hanya mengandalkan nilai masih belum cukup
namun perlu etika di dalam segala tindakan dalam intervensi, karena ini
merupakan tumpuan utama dalam menyeleseikan kasus-kasus yang ada. Seorang
pekerja sosial harus juga menjunjung tinggi asas-asas ajaran moral sesuai kode
etik yang berlaku.
Berbagai pendekatan perlu dilakukan dalam
memecahkan berbagai masalah sosial seperti HIV / AIDS. Seperti pendekatan
agama, hokum, jurnalistik, ekologi. Segala upaya praktik dari pendekan ini
merupakan landasan utama dalam mengeksplorasi nilai dan etika yang dilakukan
oleh pekerja sosial.
Tinjaan aspek eksplorasi nilai dan etika dalam
pekerja sosial harus se obyek mngkin dan berlandaskan pada kode etik yang
berlaku dan memahami nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, keluarga,
maupun individu (klien).
Saran / Rekomendasi
1.
Perlunya
membentengi diri dengan agama, dan setiap orang harus belajar agar dapat
mengendalikan diri, serta memiliki prinsip hidup yang kuat.
2.
Bagi
keluarga penderita HIV/AIDS teruslah memotivasi penderita untuk terbiasa hidup
dengan HIV/AIDS sehingga bisa melakukan pola hidup sehat,
dan mau beraktivitas dalam meneruskan hidup yang lebih baik.
dan mau beraktivitas dalam meneruskan hidup yang lebih baik.
3.
Segala
bentuk kebijakan dan program yang telah disusun oleh pemerintah hendaknya dapat
dilaksakan sebagaimana mestinya sehingga dapat menekan angka pertumbahan
HIV-AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hurairah, 2008. Pengorganisasian dan
Pengembangan Masyarakat Model Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan,
Bandung: Humaniora.
Alex Sobur, 2001. Etika Pers: Profesionalisme Dengan Nurani,
Bandung: Humaniora Utama Pers.
Alan Cantwell, dkk, 20008. Bom
AIDS, terj. Ahmad Said (Semarang: Yayasan Nuran.
Benny Sujanto dan Agus Ibraim. 2010.
Pedoman Manajemen Kasus Perlindungan Anak (Jakarta: Direktorat jenderal pelayanan dan
rehabilitasi social kemeterian republic Indonesia.
Carol A. Tauer, 2001. AIDS dan
Hak Asasi Manusia Sebuah Perspektif Antar Benua, terj. Rosidy Imro
Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Dadang Supardan, 2011. Pengantar
Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktur. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Departmen Sosial RI. Pola
Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta:Depsos RI.
Ditjen
PP & PL Kemenkes RI
E. Sumaryono, dkk. 1993. Etika
Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Edi Suharto. 2012. Analisis
Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Edi Suharto. 2004. Analisis
Kebijakan Sosial Model dan Panduan Praktis. Bandung: STKS Prees.
Edi Suharto, dkk. 2011. Pekerjaan
Sosial Di Indonesia Sejarah dan Dinamika Perkembangan Yogyakarta: Samudra
Biru.
Elizabeth Reid, HIV & AIDS
Interkoneksi Global, tetrj. Elly Wiriawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1995.
Fleishman, 1998. Manajemen Kasus.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haidar Bagir, 2005. Buku Filsafat
Islam. Bandung: Arasy Mizan.
Isbandi Rukminto Adi, 2013. Ksejahteraan Sosial (Pekerjaan
Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan) Suatu Pengantar. Jakarta:
PT RajaGrafindo, Prsada.
Jan Hendrik Raoar, 1996. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Joel Gallant, MD. MPH. 2010. 100
Tanya Jawab Mengenai HIV dan AIDS. Jakarta: PT Indeks.
KOMPAS. Penyakit Menluar: Penanganan
HIV/AIDS Terhambat Stigma. Senin, 22 Juli 2013. Hal 13.
Larry May, dkk. 2001. Etika
Terapan: Sebuah Pengantar Multikultural II, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Miftachul Huda, 2009. Pekerjaan Sosial &
Kesejahteraan Sosial Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mohammad Muslih, 2005. Filsafat
Umum Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta: Belukar.
Neni Endriani, dalam seminar, Bahaya
HIV AIDS di Lingkungan Sekitar, di Pondok Pesantren Nurul Haramain Putra 26
Juli 2010.
Soetomo, 2013. Masalah Sosial dan
Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutaat.2003. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Volume 8 Nomor 04 Desember
2003. Jakarta: Puslitbang Usaha Kesejahteraan Sosial Departmen Sosial RI.
Sumber Website
Waspada AIDS: Kasus HIV/AIDS di
Indonesia Lima Tahun ke Depan Akan Terus Bertambah (www.mediaindo.co.id)
Data Dan Informasi Lengkap Tentang
AIDS di Indonesia serta link-link yang Membantu Pages). Diakses 22-10-2014.
[1] Abu Hurairah, Pengorganisasian dan Pengembangan
Masyarakat Model Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan, (Bandung: Humaniora,
2008), hlm. 10.
[2] Elizabeth
Reid, HIV & AIDS Interkoneksi Global, etrj. Elly Wiriawan (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. xvii.
[3] Edi Suharto. Analisis
Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2012). hlm. 201-202.
[5]Data Dan
Informasi Lengkap Tentang AIDS di Indonesia serta link-link yang Membantu Pages). Diakses 22-10-2014.
[6] KOMPAS.
Penyakit Menluar: Penanganan HIV/AIDS Terhambat Stigma. Senin, 22 Juli
2013. Hal 13.
[7] Sumber :
Ditjen PP & PL Kemenkes RI
[8] Edi Suharto. Analisis
Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2012). hlm. 204.
[9] Ibid.,
hlm. 204-205.
[10] Ibid., hlm.
205-206.
[11] Jan Hendrik
Raoar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996).hlm. 62.
[12] Mohammad
Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis (Yogyakarta: Belukar,
2005). hlm. 123-124.
[13] Haidar Bagir, Buku
Filsafat Islam (Bandung: Arasy Mizan, 2005).hlm. 194-195.
[14] Isbandi
Rukminto Adi, Ksejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan
Kajian Pembangunan) Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo, Prsada,
2013), hlm.80.
[15] Ibid., hlm.
81.
[16] Edi Suharto,
dkk. Pekerjaan Sosial Di Indonesia Sejarah dan Dinamika Perkembangan
(Yogyakarta: Samudra Biru, 2011), hlm. 67.
[17] Edi Suharto,
dkk. Pekerjaan Sosial Di Indonesia Sejarah dan Dinamika Perkembangan
,….. hlm. 154.
[19] Benny Sujanto
dan Agus Ibraim, Pedoman Manajemen Kasus Perlindungan Anak (Jakarta: Direktorat jenderal pelayanan dan
rehabilitasi social kemeterian republik Indonesia, 2010), hlm. 50.
[20] E. Sumaryono,
dkk. Etika Sosial (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 72.
[21] Ibid.,
hlm.73.
[22] Carol A.
Tauer, AIDS dan Hak Asasi Manusia Sebuah Perspektif Antar Benua, terj.
Rosidy Imro (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2001), hlm. 222.
[23] Ibid.,
224.
0 comments:
Post a Comment