Oleh: Abdul Najib, S.Sos. I
(Pengurus GEMA NW Yogyakarta sekaligus mahasiswa Pasca Sarjana UIN Yogyakarta)
A. Pendahuluan
berbicara
integratif-interkonektif sudah tidak asing lagi di telinga kita dan cukup populer terutama bagi kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta bahkan di Indonesia pada
umumnya. Umumnya jargon ini tidak hanya
sekedar jargon pasca peralihan IAIN menjadi UIN tetapi lebih dari itu menjadi core
values dan paradigma yang akan dikembangkan UIN Sunan Kalijaga yang
mengisyaratkan tidak ada lagi pembagian atau dikotomi antara ilmu
agama dan ilmu umum. Gagasan integratif-interkonektif ini muncul dari Amin
Abdullah mantan rektor UIN Sunan Kalijaga yang kemudian mengaplikasikannya
dalam pengembangan IAIN menjadi UIN. Tentu saja transformasi IAIN menjadi UIN ini hakikatnya adalah
transformasi dalam dimensi akademik-keilmuannya, dan bukan sekedar perubahan
fisik bangunan atau manajerial pengelolaannya.[1]
Gagasan keilmuan yang integratif
dan interkonektif ini muncul dari sebuah “kegelisahan” pak Amin terkait dengan
tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat
Islam saat ini. Teknologi yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi
sekat-sekat antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, genetika, pendidikan,
hubungan antar agama, gender, HAM dan lain sebagainya. Perkembangan zaman mau
tidak mau menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa tekecuali pendidikan
keislaman, karena tanda adanya respon yang cepat melihat perkembangan yang ada
maka kaum muslimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan menjadi
penonton, konsumen bahkan korban di tengah ketatnya persaingan global.
Menghadapi tantangan era globlalilasi ini, umat Islam tidak hanya sekedar butuh
untuk survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan perubahan. Hal ini
kemudian dibutuhkan reorientasi pemikiran dalam pendidikan Islam dan
rekonstruksi sistem kelembagaan.
Jika selama ini
terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara “ilmu” dan “agama” dimana
keduanya seolah menjadi entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa
dipertemukan, mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formal-material,
metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan hingga
institusi penyelenggaranya. Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi
berupaya mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama
lain tetapi berusaha mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi “bertegus
sapa” satu sama lain.[2]
Dalam makalah ini,
penulis berusaha untuk mendalami dan memaparkan lebih jauh bagaimana paradigma
integratif-interkonektif ini dibangun dan bagaimana implikasinya bagi pengembangan
ilmupekerjaan sosial.dalam hal ini penulis menggunakan beberapa sumber primer langsung dari
beberapa buku yang dikarang oleh Prof. M. Amin Abdullah.
B. Mengenal Biografi Sosok M. Amin Abdullah
M. Amin Abdullah lahir
di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Pada 1972, dia menamatkan
pendidikan menegah di Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI),
Pesantren Gontor, Ponorogo, yang kemudian dilanjutkan dengan Program Sarjana
Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidika Darusslam (IPD) 1977 di pesantren yang
sama.[3] M. Amin Abdullah dalah Guru Besar Filsafat Islam Pada Fakultas Ushuluddin
IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dikukuhkan pada tanggal 13
Mei 2000, menyelesaikan S1 Jurusan Perbandingan Agama di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 1981, menyekesaikan studi S3 (Program Ph.D) pada METTU
(Middle East Technical University), Departemen of Philosopy, Fakulty of Art and
Sciences, Ankara Turki tahun 1990,[4] dengan
disertasinya, “The Idea of Universality of Ethical Normas in Ghazali and
Kant”, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992).[5] Mengikuti program Post Doktoral di McGill
University, Montreal Canada selama enam bulan (Oktober 1997s/d Februari 1998).
Dan Sejak tahun 2001 hingga tahun 2010 menjabat sebagai Rektor UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.[6] Sebuah
karir tertinggi dalam bidang akademis, setelah sebelumnya pernah menjabat
sebagai pembantu rektor I yang membawahi bidang akademik serta asisten direktur
program pasca sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Amin dikenal sebagai
salah satu pakar dalam Islamic studies, banyak karya-karyanya yang telah
dibukukan menjadi rujukan bagi para akademisi. Disertasinya, The Idea of
University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, diterbitkan di Turki
(Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah lainnya yang
diterbitkan, antara lain: Falsafah Kalam di Era Postmodernisme
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995); Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Dinamika Islam
Kultural : Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung,
Mizan, 2000); Antara al-Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam,
(Bandung: Mizan, 2002) serta Pendidikan Agama Era Multikultural
Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya
terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut
dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985); Pengantar Filsafat
Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).
Selain karya-karyanya
yang telah dibukukan, tulisan-tulisannya juga dapat dijumpai di berbagai jurnal
keilmuan, antara lain Ulumul Qur’an (Jakarta), Al-Jami’ah: Journal of
Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa jurnal keilmuan keislaman yang
lain. Di samping itu, dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri.
Seminar internasional yang diikuti, antara lain: “Kependudukan dalam Dunia
Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992; tentang
“Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya Program
Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994;
“Islam and 21st Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996;
“Qur’anic Exegesis in the Eve of 21st Century”, Universitas Leiden,
Juni 1998, ”Islam and Civil Society : Messages from Southeast Asia“, Tokyo Jepang,
1999; “al-Ta’rikh al- Islamy wa azamah al-huwaiyah”, Tripoli, Libia, 2000;
“International anti-corruption conference”, Seol, Korea Selatan, 2003;
Persiapan Seminar “New Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003;
“Gender issues in Islam”, Kualalumpur, Malaysia, 2003; “Dakwah and
Dissemination of Islamic Religious Authority in Contemporarry Indonesia,
Leiden, Belanda, 2003.
Dalam organisasi
masyarakat dia menjadi Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa
Yogyakarta, 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh 1995,
diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam,
Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua (2000-2005).
C. Isi Pemikiran Filsafat Tokoh
1. Pemikiran M Amin Abdullah: dari Normativitas-Historisitas menuju
Integratif-Interkonektif
Jika dilihat dari karyanya yang ada, setidaknya ada dua pemikiran besar Amin Abdullah yang pada dasarnya keduanya merupakan respon
dari konteks dan persoalan yang sedang dihadapi oleh kaum muslimin. Pertama
adalah persoalan pemahaman terhadap keislaman yang selama ini dipahami sebagai
dogma yang baku, hal ini karena pada umumnya normativitas ajaran wahyu
ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis. Pendekatan ini berangkat dari
teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualis dan
skripturalis.
Sedangkan disisi lain
untuk melihat historisitas keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaan
digunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan lain
sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap reduksionis, sementara pendapat Ben Agger tentang
historisitas mengacu kepada hubungan historis pola-pola sosial. Historisitas masyarakt
mengandaikan pala-pala masa laud an masa kini.[7]
Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah
merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua
jenis pendekatan ini merupakan pendekatan yang
bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat histories-empiris ini
sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik. Kedua
pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang
ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang
digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan
kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis-normatif saja akan
menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth
claim sehingga melalaui pendekatan histories-empiris akan terlihat seberapa
jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut
bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis.[8]
M. Amin Abdullah juga
menuturkan di dalam kata pengantarnya dalam buku “Pendekatan Terhadap Studi
Islam dalam Studi Agama”, bahwa paradigma integrasi-interkoneksi ilmu pada
hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan, termasuk
antar pendekatan yang dipakai dalam kajian, sebenarnya saling memiliki
keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut
adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan focus perhatian
yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda.[9]
Di sinilah, Amin
Abdullah berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan
dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab tuntutan
zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas dan
inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir.
Keterkungkungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif,
dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak
manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan
“hukum baku” tersebut.
Dalam buku
Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Biografi Intelektual M. Amin Abdullah menurutnya,
awalnya hubungan antara dimensi normativitas dan historisitas seperti manusia
itu sendiri. Keberadaan manusia itu terdiri dari dua sisi “normativitas” dan
sisi “historisitas”. Ini bisa diibaratkan dengan sebuah koin (mata uang) dengan
dua permukaan, hubungan antara kedua koin tidak bisa dipisahkan tetapi secara
tegas dan jelas dapat dibedakan. Jadi kalimat tidak dapat dipisahkan
inilah yang disebut “integrasi” dan kalimat dapat dibedakan inilah yang
disebut dengan interkoneksi.[10]
Sedangkan yang kedua
adalah paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun
sebagai respon atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak
memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini
merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang
cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada
paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang
dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama,
keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri.
Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu
justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa
saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu akan menjadikan narrowmindedness.
Secara aksiologis,
paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan
ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta
transparan. Sedangkan secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin
keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas
wilayah antar disiplin keilmuan ini masih tetap ada. Lebih lanjut tentang
paradigma interkonektif dan integratif ini akan penulis paparkan di bawah ini.
2. Memahami Paradigma Integrasi-Interkoneksi M. Amin Abdullah
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya,
paradigma keilmuan integratif dan interkonektif merupakan tawaran yang digagas
oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum
dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa
dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani
manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial,
humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling
membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat
memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling
bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu akan menjadikan narrowmindedness.
Perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial
kemanusiaan, yang begitu pesat secara relatif memperdekat jarak perbedaan
budaya antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Hal demikian, pada
gilirannya juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia
tentang apa yang disebut “agama”. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat
didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata.
Pada penghujung abad ke
19, lebih-lebih pada pertengahan abad ke 20, terjadi pergeseran paradigma
pemahaman tentang “agama” dari yang dahulu terbatas pada “Idealitas” ke arah
“historisitas”, dari “doktrin” ke arah entitas “sosiologis dari diskursus
“esensi” ke arah “eksistensi”.[11]
Perkembangan studi
ilmu-ilmu sosial, terlebih-lebih lagi ilmu-ilmu agama (religionwissenschaft)
sebenarnya belum lama. Pendekatan empiris terhadap fenomena keberagamaan
manusia baru muncul sekitar abad ke-19. Terlepas dari kontroversi keinginan
beberapa peneliti untuk menggunakan metodologi ilmu-ilmu kealaman untuk
meneliti fenomena sosial, namun studi dan pengamatan empiris terhadap fenomena
sosial keagamaan adalah merupakan suatu perkembangan yang sama sekali baru.
Ilmu-ilmu Islam yang
‘ortodoks’ (fiqh, tasawuf, teologi) secara relatif tidak atau kurang mengenal
diskursus baru ini. Hampir semua pemikiran Islam kontemporer mengakui hal ini.
Hasan Hanafi, sebagai contoh, melihat dengan nyata menghilangnya nuansa
pemikiran ‘historis’ dalam wacana keilmuan Islam. Sejak al-Kindi, al-Farabi,
sampai sekarang. Filsafat Islam hanya menyinggung masalah mantiq, Tabi’iyyat
dan Ilahiyyat. Ilmu-ilmu kemanusiaan (insaniah) dan sejarah (tarikh)
tidak atau belum pernah menjadi sudut bidik telaah keilmuan Islam yang serius.
Orang boleh mencatat sebagai pengecualian yang amat sangat jarang seperti Ibnu
Khaldun.[12]
Suatu hal yang paling nampak dalam perkembangan
epistemologi seperti yang dirasakan oleh mayarakat Barat modern adalah penemuan
atau penerapan sains dan teknologi—yang dengan keberhasilannya sangat berbeda
jauh dengan kegiatan (kreativitas) para filosof sebelumnya, sehingga pada masa
ini dijuluki dengan zaman pencerahan. Namun pada masa ini juga masyarakat
modern semakin menyadari bahwa penerapan sains dan teknologi berdampak negatif,
karena dengan asumsi bahwa “ilmu adalah bebas nilai” itu ternyata membawa pada
dehumanisasi—yang menjaukan diri dari nilai-nilai keagamaan. Berawal dari
kesadaran inilah masyarakat modern untuk menggali kembali hubungan harmonis
antara sains dan agama.
Jika diruntut
kebelakang, epistemologi model pemikiran Plato (al-Farabi) dan model pemikiran
Aristotle (Ibnu Rush) memang dapat dibedakan secara tegas. Pemikiran
metafisik-spekulatif model pemikiran Christian Wolff dan pemikiran empiris
model Hume dan Berkeley juga dapat dibedakan secara mendasar. Jika di Barat,
dalam poses perjalanan sejarah menemukan tokoh Immanuel Kant, yang dapat
mengawinkan antara tradisi idealis dengan tradisi empiris, di dalam Islam
agaknya belum ditemukan tokoh serupa.[13] Mungkin saatnya
sekaranglah untuk mencoba mereduksi hal tersebut.
Bukan masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu agama
(Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan
ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya,[14]
dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial secara sistematik. Hal ini bukan
berarti bahwa peran nuansa-nuansa teologis dalam memberikan warna terhadap
bentuk-bentuk aktivisme keislaman diabaikan sama sekali. Nuansa-nuansa teologis
itu tentu saja harus dipahami secara memadai dengan memakai
pendekatan-pendekatan klasik yang berakar didalam kajian-kajian Islam
konvensional.[15]
Muhammad Abid al-Jabiry dalam Amin Abdullah
mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan sejarah umat Islam, ketika bangunan
keilmuan natural sciences (al-ulum al-kauniyyah) menjadi terpisah dan
tidak bersentuhan sama sekali dengan ilmu-ilmu keislaman yang pondasi dasarnya
adalah “teks” atau nash. Meskipun peradaban Islam klasik pernah mengukir
sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara
lain seperti Al-Biruni (w. 1041) seorang ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang
filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam (w.1039) seorang fisikawan, dan
lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang ada sekarang kurang mengenalnya
atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi, lebih-lebih perkembangan
metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang ini, yang sesungguhnya
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang ada sekarang.[16]
Paradigma Integrasi-interkoneksi hakikatnya
ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya
saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin
keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta, hanya saja dimensi dan focus perhatian
yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa
superior, eksklusifitas, pemilihan secara dikotomis terhadap bidang-bidang
keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik secara
psikologis maupun secara ilmiah-akademis.[17]
Integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu
kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena
keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha
interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud
adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan
dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan
agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri,
maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling
koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[18]
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan
pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan
agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga
corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
a)
Pendekatan paralel masing-masing
corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan
persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
b)
Pendekatan Linear, salah satu
dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
c)
Pendekatan Sirkular,
masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan
kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat
dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta
memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.[19]
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha
untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum.
Muara dari pendekatan integratif-interkonektif
menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut
dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak
sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai
perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal,
sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.[20]
Amin Abdullah memberikan contoh konkrit dari proses
objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah, yang prakteknya dan
teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku
ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudharabah) dan kerja sama (al-Musyarakah).
Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti
agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis
moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah
yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan,
teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan
seterusnya.[21]
D.
Analisis Epistemologis atas Bangunan Filosofis Tokoh
Setidaknya terdapat lima elemen-elemen yang harus dijelaskan dalam epistemologi yaitu: hakikat/sumber pengetahuan, instrumen pengetahuan, metode perolehan
pengetahuan, pengujian kebenaran pengetahuan (validitas pengetahuan), dan teori
kebenaran. Brikut analisis atas kajiantokoh yang ditawarkan M. Amin Abdullah:
1.
Hakikat/Sumber Pengetahuan
Konsep pendidikan agama yang rahmatan li al-’a>lami>n merupakan
wahyu Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan hidup manusia dengan memberikan konsep
aturan kehidupan yang berupa aturan dan nilai-nilai ajaran agama meliputi
hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik,
sosial maupun budaya secara global. Kitab suci terbesar yang diturunkan oleh
Allah SWT yakni al-Qur’an merupakan puncak dari segala desain ilmu yang di
dalamnya tertuang segala aspek keilmuan sebagai petunjuk arah umat manusia
dalam pengemban potensi yang dimiliki.
Sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan
dalam segala aspeknya memang berasal dari agama. Agama tidak pernah mengajarkan
bahwa wahyu Tuhan hanya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut
pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal
dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya
disebut teoantroposentris. Agama memberikan aturan bagaimana sebuah kebenaran
ilmu dapat diukur, bagaimana ilmu diproduksi, dan bagaimana seharusnya
tujuan-tujuan ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk
digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontologi dan
epistemologi keilmuan, agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu
yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif. Dalam artian,
bahwa ilmu yang dihasilkan tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain,
non agama, dan anti agama sebagai nilai normativitas semata, tetapi sebagai
gejala keilmuan objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas. Maka
objektifikasi ilmu merupakan hasil dari pemikiran dari orang-orang beriman
untuk seluruh manusia yang bersifat menyejukkan dan damai bukan sebaliknya.
Jadi, hakikatnya pengetahuan itu haruslah objektif, artinya harus dapat
dirasakan dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana yang telah digariskan
dalam ide dasar ajaran Islam, yakni Islam sebagai rahmatan li
al-’a>lami>n.
2.
Instrumen Pengetahuan
Dalam pandangan filsafat ilmu, segala macam aspek-aspek ilmu
pengetahuan yang ada meliputi ilmu-ilmu sosial, ilmu alam maupun ilmu-ilmu
keagamaan, dalam perkembangannya selalu mengalami dialektika keilmuan yang
mengakibatkan adanya shifting paradigm (pergeseran gugusan pemikiran
keilmuan). Hal ini erat kaitannya dengan kegiatan ilmu pengetahuan yang
bersifat historis, dengan rancang bangun dari pemikiran manusia yang juga tidak
dapat melepaskan dirinya dari sifat historis, maksudnya terikat oleh ruang dan
waktu, terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan perkembangan kehidupan
sosial yang mengitari penggal waktu tertentu. Dengan begitu sangat dimungkinkan
terjadinya dialog yang kemudian menampilkan sistem perubahan, pergeseran,
perbaikan, perumusan kembali, munculnya teori-teori baru, serta penyempurnaan
rancang bangun epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan
keilmuan tidak akan berjalan dan mengakibatkan usangnya pengetahuan keilmuan
itu sendiri.
Oleh karena itu, dengan menggunakan bahasa dan pola berpikir yang
disesuaikan dengan muatan pengalaman manusia moderen era ilmu dan teknologi
tanpa meninggalkan warisan khazanah intelektual Islam, dapat dijadikan sebagai
pijakan pengetahuan manusia dalam mengikuti perkembangan paradigma kehidupan.
Menurut hemat penulis, antara bahasa, pola berpikir dan diikuti dengan
pengalaman dalam mengarungi hidup memang akan menentukan bagaimana arah perkembangan
manusia. Sehingga hal tersebut tidak dapat dipisahkan dalam proses kehidupan
manusia, karena sejak awal manusia terlahir telah mendapatkan bekal untuk
berbahasa dan berpikir dalam rangka pengembangan potensi untuk hidup
berkemajuan.
3.
Metode Memperoleh Pengetahuan
Dalam dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga macam teori
pengetahuan, pertama, pengetahuan rasional (Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusdh);
kedua, pengetahuan inderawi yang terbatas kepada klasifikasi sumber perolehan
ilmu pengetahuan, belum ada filosof muslim yang mengembangkan teori ini seperti
empirisisme di Barat, dan ketiga, adalah pengetahuan kasyf yang
diperoleh lewat ilham. Metode perolehan ilmu lewat jalan pertama dan ketiga
saat ini dirasakan masih yang dominan dalam dunia pemikiran Muslim. Sedang
perolehan ilmu lewat cara yang kedua kurang mendapat perhatian yang layak,
meskipun al-Qur’an sendiri memberikan ruang perolehan ilmu lewat indera
sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. dalam perjalanannya mencari
Tuhan.
Dengan memahami realitas bahwa perkembangan dunia Islam dalam
sarana perolehan ilmu lebih pada pengetahuan rasional dan kasyf maka
menurut Amin Abdullah sisi empiris perlu diletakkan secara proporsional positif
dalam epistemologi Islam. Walaupun proses tersebut dirasakan memerlukan energi
yang cukup besar karena telah berkembang sedemikian rupa di kalangan umat
Islam. Dengan mengedepankan mentalitas semangat kritis empiris dan mempunyai
semangat keingintahuan intelektual yang mendalam (curiosity) serta
berupaya untuk merealisasikannya maka akan melahirkan empirisme dalam satu
keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas, sehingga
diharapkan epistemologi islami akan lahir dan memberi produktivitas keilmuan
yang memberi jalan positif atas kegelisahan umat dewasa ini yang di nilai
semakin memudar etosnya.
4.
Pengujian Kebenaran Pengetahuan (Validitas Pengetahuan)
Untuk menguji
kesahihan sebuah pengetahuan, haruslah kemudian diuji kebenarannya agar dapat
dijadikan sandaran dalam kehidupan. Adapun tolok ukur validitas pengetahuan
menurut Amin Abdullah ada tiga, yaitu konsistensi, koherensi dan korespondensi.
Konsistensi berasal dari bahasa latinconsitere yang berarti “berdiri bersama”.
Jadi konsistensi artinya sesuai, harmoni, atau menurut pengistilahan teknik
filsafat “hubungan logis”. Sebuah pengetahuan haruslah menghargai pengetahuan
lain dengan memiliki hubungan terpadu antar pengetahuan. sementara itu,
koherensi berasal dari bahasa latin cohaerere yang berarti lekat satu
dengan lainnya. Koherensi merupakan teori kebenaran yang yang menegaskan bahwa suatu proposisi
(pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau informasi) dianggap
benar apabila memiliki hibungan ddengan gagasan dari proporsi sebelumnya yang
juga sahaih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
logika.[22] Koherensi yang dimaksud disini adalah satu poin ilmu harus terkait
dengan poin ilmu yang lain, tidak terlepas sendiri-sendiri. Yang terakhir,
korespondensi berasal dari dua kata latin, yaitu co yang berarti
bersama, dan respondere yang berarti menjawab. Jadi korespondensi adalah
praktis dari pengetahuan itu, yakni sama antara teori dengan praktik, antara
konsep murni dan terapan. Jadi korespondensi merupakan teori kebenaran yang mengatakan bahwa suatu
pengetahuan itu sahih apabila propordi bersesuaian dengan realitas menjadi
objek pengetahuan itu. Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat
dengan kebenaran dan kepastian indrawi.[23]
Dari ketiga
kriteria yang menjadi tolok ukur filsafat ilmu tersebut, dapat dilihat apakah
pengetahuan-pengetahuan dalam kurun sejarah tertentu mempunyai konsistensi,
koherensi, dan korespondensi atau tidak.
5.
Teori Kebenaran
Sebelum sampai pada pengambilan sebuah teori kebenaran pengetahuan,
Amin Abdullah sepintas melakukan telaah pergumulan ide-ide yang disampaikan
oleh tiga tokoh filsafat, yakni Thomas S. Kuhn, Karl R. Popper dan Paul
Feyerabend,[24]
khususnya yang berkaitan dengan gagasan-gagasan mereka yang mengemuka dalam
diskusi-diskusi tentang percaturan teori-teori ilmu, dan tumbuhnya teori-teori
baru yang menantang teori-teori terdahulu dalam wacana ilmu pengetahuan. Ada
dua aliran atau tradisi besar dalam filsafat ilmu yang menjadi istilah atau
terminologi analitik dari para filosof, yakni tradisi yang bersifat
naturalistik, dan tradisi humanistik.
Ketiga pakar filsafat ilmu tersebut secara kritis analitis sepakat
bahwa kekuatan inti yang dinamis, yang mendorong adanya kemajuan ilmu
pengetahuan merupakan semangat dan etos dari para ilmuwan dan peneliti sendiri
untuk memperbaiki, menyaring, menguji ulang, dan membatalkan teori-teori
terdahulu dalam bidang studi yang terkait, dengan menggunakan
metodologi-metodologi tertentu yang semakin objektif. Sehingga Amin Abdullah
mengemukakan bahwa keseluruhan hasil pemikiran dan analisis keilmuan manusia
dalam wacana ilmu pengetahuan harus selalu bersifat terbuka untuk dapat di
pertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga dapat dipertanyakan, dikritisi,
diteliti dan diuji ulang oleh siapapun yang menekuni basis keilmuan tersebut.
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dapat menemui titik tujuan yang
cemerlang jika ada usaha-usaha sebagai rintisan awal, dan di pihak lain ada gairah
dari para ilmuwan dan peneliti untuk membuang dan menghindari
kesulitan-kesulitan, anomali-anomali maupun inkonsistensi yang terdapat pada
teori-teori terdahulu yang telah dihasilkan oleh generasi sebelumnya, melalui
kegiatan ilmiah yang terencana dan disengaja untuk membuktikan kebenaran maupun
kesalahan teori-teori terdahulu. Akan tetapi yang tidak dapat dipisahkan yakni
adanya interaksi dan komunikasi antara satu disiplin ilmu dengan ilmu-ilmu yang
lain yang berada di luar domain tradisional yang menjadi pijakannya. Jadi, ilmu
pengetahuan bersifat terbuka untuk dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji
ulang untuk mendapatkan konsep pengetahuan yang lebih benar dan tepat dalam
perkembangan zaman dan perkembangan pemikiran manusia.
E.
Implikasi Bagi Ilmu
Pekerjaan Sosial
M. Amin Abdullah sebagai salah satu tokoh dalam ilmu filsafat yang
menawarkan sebuah paradigma keilmuan untuk lebih mendialogkan antara keduanya
dengan tidak melupakan klasifikasi ilmu pengetahuan, status dan ontologinya,
sebab merupakan basis bagi sebuah epistemologi. Keilmuan yang ditawarkan ialah
paradigma interkomunikasi antar ilmu pengetahuan yang di kenal dengan keilmuan
interkonektif-integratif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada, baik itu
keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan mampu
kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak
memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan
merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan mengakibatkan pemikiran sikap
yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan egoisme
disiplin keilmuan.
Asumsi dasar yang
dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena
kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun
tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa
antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang
dihadapi oleh manusia.
Dari paparan diatas menurut hemat penulis seperti kita ketahui bahwa
pekerjaan sosial merupakan suatu bidang keilmuan meminjam berbagai teori dari
ilmu-ilmu lain, seprti: psikologi ia meminjam beberapa teori tingkah laku, systems
social, psikososial teori, dan beberapa dari teori client centre, sementara
ilmu ekonomi, yang lebih cendrung digunakan dalam aspek model-model
pemberdayaan dalam hal peningkatan taraf hidup, sosiologi bagaimana tatanan
masyarakat dan hubungan antara klien dan lingkungannya, ilmu politik ini
bagaimana tinjauan dari aspek pengmabilan kebijakan sosial dan dan pembangunan
sosial, dan berbagai ilmu sosial lainnya. Dari ungkapan diatas sudah cukup jelas dengan melihat sejarah terbentuknya
dan perkembangan ilmu pekerjaan sosial dari abad ke-19 dan 20.
Dari uraian di atas, pemikiran M Amin Abdullah telah
membuka wawasan baru terkait dengan eksistensi ilmu pekerjaan sosial terutama
terkait dengan paradigma
interkoneksitas. Apabila kita merujuk kepada nilai-nilai dan tantangan globalisasi dan
internasionalisasi masalah pekerjaan sosial sehingga mampu melahirkan beberapa konsep
pribumisasi/indigienisasi pekerjaan sosial yang sesuai dengan konteks nilai dan
budaya yang dianut oleh masyarakat.
Ini dapat terlihat menurut pemikiran yang diutarakan oleh M Amin Abdullah
bahwa, secara aksiologis,
paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan
ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta
transparan. Pemikiran M Amin Abdullah tentang interkonektif-integratif setidaknya telah mendorong penedekatan dalam
pengembangan teori praktek pekerjaan sosial salah satu posisi yang ditawarkan
adalah, posisi indeginisasi atau pengkontekstualisasi. Sedangkan posisi lain
seperti otentisasi, dan posisi internasional yang multibudaya. Sumbangan ketiga
posisi ini dalam mengembangkan praktik pekerjaan social pribumi.[25]
Berbicara interkonektif-integratif telah membuka
jalan seluas-luasnya untuk mengkontekstualisasikan ilmu-ilmu sosial terutama
pekerjaan sosial di dalam proses intervensinya. Didalam ilmu politik pun
terjadi dengan hal yang serupa ketika Gabriel Almond kesulitan membuat skema metode
perbandingan sistem-sistem politik, lantas dia meminjam konsep-konsep sosiologi
antropologi. Dengan jalan ini ia kemudian mampu menyempurnakan skemanya.[26]
Demikian juga yang terjadi dengan ilmu pekerjaan sosial ketika mencari aspek
aksiologis keilmuannya ditanya oleh khalayk umum.
Sebagai contoh pendekatan mengintegrasikan pemberian bantuan pribumi ke
dalam pekerjaan sosial ini berbeda dari apa yang dipromosikan Barat dalam
kaitan dengan pemberian bantuan nonprofessional. Di Barat para pekerja sosial
di dorong untuk mengakui nilai kalangan nonprofessional dan para pemberi
bantuan awam serta didorong untuk menemukan cara-cara melengkapi dan bekerja
dengan mereka. Namun demikian pendekatan ini lebih berkaitan dengan bagaimana
kalangan profesional dapat belajar dari pemberian bantuan alamiah atau pribumi.
Pendekatan-pendekatan di atas menarik pengertian tentang pentingnya
memahami suatu definisi budaya dari masalah-masalah dan selanjutnya isi
pemberian bantuan serta pentingnya mengidentifikasi proses-proses pemberian
bantuan yang dapat diterima secara budaya atau bersifat pribumi. Pekerjaan
social dapat dibangun berdasarkan dan belajar dari beberapa cara tradisional
dalam memberikan bantuan dengan menguji tema-tema budaya dan proses pemberian
bantuan dalam pendekatan para pemberi bantuan pribumi.[27]
Dari contoh di atas, menunjukkan konsep keilmuan
interkonektif-integratif menjadi upaya tindak lanjut yang lebih luas dari kontekstualisasi
ilmu pengetahuan dan saintifikasi Islam. Interkonektif-integratif menampilkan
paradigma keleluasaan dalam membuka tabir-tabir antar disiplin keilmuan dan
memberikan ruang komunikasi lebih mendalam antara ilmu-ilmu yang dianut dari
Barat dengan penerapan yang dilakukan dalam hal ini Indonesia dengan dilandasi
kesadaran rendah hati dan rasa kemanusiaan dalam pengembangan bangunan-bangunan
disiplin keilmuan.
F. Penutup
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut:
1. Dalam
realitas kehidupan masih ada pemahaman yang belum sinkron tentang hubungan
antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum karena dipahami ilmu agama
menempati ruang yang berbeda dengan ilmu-ilmu umum. Pemahaman tersebut
mengakibatkan adanya sikap yang mengarah pada pengambilan sekat atau jarak
untuk memberikan ruang yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu
pengetahuan, sehingga dilihat dari sudut pandang ini antara ilmu agama dan ilmu
pengetahuan sangat sulit disatukan dengan metode dan cara tertentu. Amin
Abdullah berusaha untuk meluruskan dan membenahi alur berfikir dikotomis
atomistik melalui ide pendekatan interkonektif-integratif. Paradigma
interkonektif-integratif dapat dipahami sebagai upaya membangun kerjasama yang
efektif dan mendalam sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga
terjadi komunikasi efektif dari bangunan-bangunan keilmuan, baik keilmuan
agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman.
2.
Implikasi pemikiran M Amin Abdullah dengan ilmu-ilmu sosial dan pekerjaaan
sosial dengan asumsi dasar yang
dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena
kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun
baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat
berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai
disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh
manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu
akan menjadi sempit. Karena kita ketahui bahwa pekerjaan social meminjam berbagai teori dari
ilmu-ilmu lain, seprti: psikologi, ekonomi, sosiologi, psikososial teori,
systems social, dan berbagai ilmu sosial lainnya.
3. Sementara sumber pengetahuan ada dua, yaitu pengetahuan yang berasal dari tuhan
dan berasal dari manusia. Obyektif merupakan hakikat ilmu pengetahuan. Bahasa,
pola berpikir diikuti pengalaman manusia merupakan alat pengetahuan manusia.
Adapun teori pengetahuan yakni pengetahuan bersifat terbuka untuk dapat
dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang. Sedangkan menggunakan
konsistensi, koherensi, dan korespondensi suatu kebenaran dapat diuji
validitasnya.
[1] M. Amin Abdullah dkk, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20076), hlm. v.
[2] M. Amin Abdullah,
Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke III, 2013), hlm 431.
[3] M. Amin
Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multi Religius (Jakarta:
PSAP Muhammadiyah, 2005), hlm. 191.
[4] M. Amin Abdullah, dkk.,
Seri Kumpulan Pidato Guru Besar: Rekonstruksi Metodologi Ilmu –ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), hlm. 363.
[7] Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya.
terj. Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2013), hlm. 12.
[8] M. Amin Abdullah, Studi
Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002,
cet-3), hlm v-18.
[9] M. Amin
Abdullah, “Kata Pengantar” dalam, Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaydawi
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. Edisi
revisi, 2010, Suka-Press). hlm. ix.
[10] Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Biografi
Intelektual M. Amin Abdullah (Yogyakarta: SUKA-Press, 2013), hlm. 967.
[14] M. Amin
Abdullah, dkk., Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi,
(Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 33.
[15] Radjasa Mu’tasim dan Arifah Khusnuryani, Keilmuan
Integrasi Interkoneksi Bidang Agama dan Ilmu-ilmu Sosial, (Yogyakarta:
Lembaga Penelitian UIN Suka, 2009), hlm. 175.
[18] M. Amin Abdullah dkk, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. vii-viii.
[22] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 121.
[24] Menurut hemat penulis bahwa M. Amin Abdullah dan pokok-poko pemikirannya
dipengaruhi oleh ketiga tokoh di atas dan ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh
filsafat kontemporer dalam pengkajian filsafat ilmu. Dan M. Amin Abdullah mencoba
memadukan corak keilmuan umum dengan ilmu keislaman dengan memadukan berbagai
asumsi yang telah ada sebelumnya, Thomas Kuhn, dkk.